Rabu, 02 Desember 2020

GU 15 Tahun: Restart


Tahun 2005 jadi tahun yang bersejarah untuk sepakbola Gresik. Lahirnya Gresik United (GU) dari peleburan Petrokimia Putra dan Persegres cukup memberikan angin segar untuk kami yang menyukai sepakbola. Meski saat itu prestasi belum stabil, tapi bagi kami yang betul-betul menyukai sepakbola sangat bersyukur. Rasa marah, sedih, dan kecewa kami ditolong oleh Ultras yang mendesak pemda setempat hingga terbentuknya tim ini.

Tahun demi tahun prestasi GU mungkin memang belum mentereng. Maklum juga di tahun-tahun itu masih mengandalkan APBD yang ya kita tahulah bagaimana beratnya. Entah bagaimana ceritanya, aku akhirnya bisa berkenalan dengan pemain GU yang ternyata juga merupakan tetangga dari seorang teman. Rasanya seperti mengulang ketika bisa berkenalan langsung dengan pemain Petro Putra.

Bahagia pasti. Tak hanya karena dapat mengenal mereka yang sudah tentu diidolakan banyak orang, tapi juga keuntungan mendapatkan akses memperoleh info hasil pertandingan ketika laga tandang. Maklum, zaman itu kan sinyal tidak semudah sekarang.

Tak lama saat mulai ku tinggal sibuk dengan kuliah, akupun hijrah ke Surabaya. Berbekal kekecewaan prestasi GU yang tak kunjung membaik dan tingkah beberapa pemain yang sempat membuat eneg akhirnya ku putuskan vakum dari mendukung GU. Ku pikir ada saatnya aku hanya perlu mendapat kabar mereka dari media massa saja.

Selama itu, sebenarnya aku sempat beberapa kali menonton pertandingan GU di Stadion Petro. Itu pun karena mendapat akses kartu pertandingan dan rasa rindu pada stadion. Agak lupa pertandingan melawan tim mana kala itu, tapi yang ku ingat saat itu aku melihat beberapa pemain putra daerah ikut menikmati pertandingan di tribun. Kalau tak salah ada Agus Indra, Herman Rhomansyah, Duani Psatria, dan Dedi Indra.

Beberapa tahun kemudian, kabar GU terpecah ku dengar. Tak lama setelah adanya pilkada. Ku pikir mungkin hanya serah terima klub semata, kalaupun lebih detil mungkin proses adaptasi dari klub yang sebelumnya bergantung pada APBD menjadi klub mandiri tanpa APBD. Eh ternyata aku kecele, Persegres namanya. Beberapa pemain lama yang sempat berkontak denganku tak mau bercerita banyak, mereka hanya mengatakan tawaran untuk bergabung dengan klub itu.

Konflik di tubuh PSSI yang membuat liga terpecah pun membuat klub yang nampak kembar padahal bukan. GU dikabarkan bermarkas di Bangkalan, sedangkan Persegres bermarkas di Gresik, Stadion Petro. Bahkan aku juga sempat mendengar kabar tak sedap tentang tunggakan gaji di tubuh GU yang bermarkas di Bangkalan. Entah benar atau tidak, akupun tak tahu. Aku memang tak terlalu paham dengan apa yang terjadi. Karena memang saat itu keputusanku untuk vakum dan fokus kuliah masih berlaku.

Hingga masa-masa akhir kuliah, ternyata ketertarikanku pada sepakbola muncul kembali. Minatku mengambil sepakbola sebagai topik tugas akhir membuatku mencoba kembali terjun ke sepakbola Gresik. Ya, saat itu namanya sudah jadi Persegres (yang sempat ditambahi embel-embel GU).


Jika dianggap totalitas mendukung klub saat itu, iya. Ku akui malah sebenarnya aku berlebihan saat itu. Bertahun-tahun sejak skripsi usai hingga akhirnya tesisku mengambil subjek yang sama meski topik berbeda membuatku cukup paham apa yang terjadi disepakbola Gresik. Tapi aku tak mau sok tahu, yang ku tahu konflik di PSSI maupun manajemen akan selalu berimbas pada klub, dan pemain tentunya.

Setelah prestasi klub menurun drastis hingga tahun 2018 resmi terdegradasi ke Liga 3, lagi-lagi Ultras yang tanpa henti mengusahakan apapun untuk mengembalikan klub ke identitas aslinya. Jika ada yang bilang mereka mendua karena sempat ikut mendukung Persegres yang dianggap palsu, tidak. Itu tak benar. Cinta mereka pada sepakbola Gresik jauh lebih besar dari itu. Mereka selalu mencoba mencari momen yang tepat untuk benar-benar mengembalikan kejayaan sepakbola Gresik, membawa kembali nama GU ke pangkuan kita yang mencintai sepakbola, membuka mata mereka-mereka yang meremehkan ‘ah hanya sekadar nama’.

Tak bisa ku pungkiri, hatiku hancur berkeping-keping saat musim 2017 lalu. Karena itulah aku membulatkan tekad untuk vakum dari sepakbola Gresik setelah tesisku selesai pada musim 2018. Terlihat jahat memang tiba-tiba pergi dan justru terlihat lebih mencintai Persebaya yang merupakan klub kota kelahiranku. Bagiku, aku tak perlu menjelaskan apapun karena cinta dan sayang itu hanya dapat dipahami oleh mereka yang juga merasakannya.


Tahun 2019 lalu, saat aku mengetahui beberapa pemain eks Persegres 2018 ikut bergabung bersama GU, aku bahagia. Ku lihat semangat mereka yang masih muda itu betul-betul ingin memperbaiki sepakbola Gresik dengan cara berjuang langsung bersama GU. Sayang, aku tak sempat menonton mereka bertanding. Sesekali hanya ku hubungi untuk memastikan mereka mendapatkan dukunganku juga. Buatku, lebih penting mereka memahami bahwa ada Ultras dan publik Gresik yang mendukung penuh dan percaya bahwa mereka dapat mengembalikan sepakbola Gresik pada era yang jauh lebih baik. Inilah yang nantinya akan terus menjadi motivasi mereka membawa nama GU.

Begitupun musim ini yang seharusnya sudah berjalan dari sekitar bulan Mei atau Juni. Sejak mendapat kabar seleksi pemain, rasanya sangat senang. Meski sempat datang saat seleksi dan tak banyak kenal dengan pemain yang ikut, tapi melihat mereka yang termasuk dalam tim seleksi cukup membuatku yakin bahwa GU akan segera memasuki era baru. Pemain-pemain putra daerah banyak yang menyaksikan seleksi dan terlihat cukup terkesan dengan banyaknya pemain yang ikut seleksi untuk tim musim ini.

Apalagi pemilik klub yang baru kabarnya juga sangat serius mempersiapkan tim kedepan. Beberapa kali berdiskusi dengan teman-teman yang mengikuti GU dan sepakbola Gresik, kami betul-betul punya harapan besar untuk dapat menghadirkan era baru bagi GU dan Gresik. Tentunya dengan konsep yang mandiri dan lebih profesional.

Sayangnya, pandemi covid menghalangi kita berbahagia lebih awal. Kita diuji dengan kesusahan dulu tahun ini. Hikmahnya, banyaknya webinar lokal dan internasional tentang pengelolaan sepakbola dapat menjadi salah satu rujukan untuk manajemen GU nanti. Harapan yang sama untuk tahun depan agar pandemi covid segera berakhir dan sepakbola kembali berjalan, lalu GU mulai kembali memperlihatkan eksistensinya pada khalayak. Tak lagi sekadar eksis dalam diri kita yang mencintainya.

Tahun ini, GU genap berusia 15 tahun. Lima belas tahun yang tak mudah dihadapi dengan segala ujian eksistensi dan sisa-sisa tenaga membuatnya bertahan dalam diri kita. Di Bulan Desember yang juga penghujung tahun ini, jangan sedih, jangan kecewa, dan jangan marah pada pandemi!

Yakinkan di penghujung tahun 2020 ini, GU yang berusia 15 tahun ini, memulai kembali.



*Foto didapat dari Google Images dan arsip pribadi

Kamis, 11 April 2019

Rivalitas Tanpa Batas atau Terbatas Identitas?

Kita tentu sudah sering mendengar maupun membaca kata rivalitas. Rivalitas begitu erat dihubungkan dengan olahraga, terutama sepak bola. Di Indonesia, rivalitas dalam sepak bola akan menjadi ramai dibahas ketika sudah tentang dua tim yang dianggap sarat dengan sejarah. Misalnya, Arema Malang dan Persebaya Surabaya, Persija Jakarta dan Persib Bandung, atau PSS Sleman dan PSIM Jogjakarta. Rivalitas kedua tim kemudian berimbas pada suporter masing-masing tim tersebut. Tak jarang pula rivalitas tinggi membuat sederetan insiden kekerasan yang mungkin berujung kematian.

Kalimat 'Rivalitas Tanpa Batas' begitu sering dibahas, namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan rivalitas itu sendiri?

Dalam penelitian berjudul 
Rival Conceptions of Rivalry: Why Some Competitions Mean More Than Others, rivalitas diartikan sebagai hubungan permusuhan yang ada di antara dua tim, pemain, atau kelompok suporter, yang bisa dilihat melalui kompetisi, di dalam lapangan, atau insiden di luar lapangan, akibat kedekatan, susunan demografis, dan/atau kejadian sejarah. Rivalitas memiliki beberapa kekhasan, misalnya adanya hubungan intens dan saling sengit antara dua tim atau kelompok suporter mereka, merupakan persaingan sejak lama atau dianggap derby, terkadang dapat mengandung bonus tertentu apabila dapat mengalahkan tim rival atau lawan tertentu, serta merupakan dampak dari kedekatan geografis.

Rivalitas adalah salah satu elemen penting dalam kompetisi olahraga, namun faktanya kadang patokan apa yang membuat mereka dianggap rival/saingan atau yang lain hanya sekadar lawan masih belum jelas. Rivalitas hanya dianggap sebagai suatu persaingan sengit yang melibatkan kelompok suporter. Kedua kelompok suporter yang sama-sama berusaha mempertahankan bahkan memperkuat identitasnya masing-masing.


Identitas kelompok juga menjadi masalah utama dalam rivalitas. Identitas sosial kelompok yang dibuat oleh masing-masing kelompok suporter secara tidak langsung meleburkan identitas individu-individu yang ada di dalamnya. Mereka akan berinteraksi satu sama lain, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengubah identitas mereka dengan identitas kelompoknya. Ada beberapa individu yang merasa belum puas dengan keikutsertaannya dalam kelompok justru akan mengeluarkan pernyataan atau perilaku yang cenderung merendahkan kelompok suporter lain maupun rival hanya demi diakui menjadi bagian dari kelompoknya. Perilaku seperti inilah yang kemudian dapat menimbulkan bentrok 
atau agresi suporter.

Kekerasan yang melibatkan suporter sebenarnya tidak hanya merupakan dampak dari rivalitas yang tinggi. Artikel penelitian berjudul Soccer Fan Violence: A Holistic Approach membahas beberapa penyebab terjadinya agresi atau kekerasan yang melibatkan suporter, di antaranya akibat permainan agresif kedua tim, adanya intervensi dari agen kontrol sosial (pemimpin daerah, ketua kelompok, panutan), bentuk fisik dan psikologis tempat bertanding atau bertemunya suporter, peran media massa, serta relasi antar kelompok suporter. Faktor-faktor tersebut tentunya juga dipengaruhi oleh kebiasan dan identitas sosial masing-masing kelompok.

Penelitian berjudul Enemies With Benefits: The Dual Role of Rivalry in Shaping Sports Fans' Identity yang dilakukan oleh Berendt & Uhrich mengeksplorasi tentang efek ganda rivalitas dalam hal identitas suporter. Mereka menemukan sisi negatif dan positif dari adanya rivalitas antar kelompok suporter. Rivalitas dianggap mengancam identitas suporter yang dapat dilihat dari harga diri kolektif (collective self-esteem) yang lebih rendah dalam kaitannya dengan suporter tim rival. Rivalitas menjadi sesuatu yang berbalut gengsi demi mempertahankan eksistensi mereka sebagai kelompok suporter. Karena itulah mereka selalu menginginkan kemenangan bagi tim kesayangannya, agar ketika timnya mengalami peningkatan eksistensi, eksistensi mereka pun ikut naik.

Selain itu, penelitian tersebut juga mengungkap dampak positif dari rivalitas, yakni tingginya persepsi harga diri kolektif yang kaitannya dengan kelompok suporter bukan rival. Dalam hal ini, persepsi khas dalam kelompok serta kekompakan (kohesi) mereka pun ikut meningkat.Ini terjadi karena mereka akan menganggap bahwa kelompok mereka sudah dapat melewati konflik dengan baik dan menjadi lebih kompak.

Lalu, berarti rivalitas itu harus dihapus saja agar tidak menimbulkan korban ya? Eits, tunggu dulu!

Hasil menarik didapatkan dari penelitian berjudul Rivalry and Fan Aggression: Why Acknowledging Conflict Reduces Tension between Rival Fans and Downplaying Makes Things Worse. Penelitian yang membahas tentang rivalitas dan agresi suporter ini menemukan bahwa rivalitas tidak boleh dihapus, diganti, atau bahkan meremehkannya. Rivalitas yang berusaha dinetralisir ternyata akan membuat suporter menjadi tidak jelas, meskipun sebenarnya persepsi ini bermanfaat.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas, rivalitas merupakan konflik identitas. Konflik ini tidak dapat diselesaikan apabila sudah terjadi berlarut-larut, telah menolak resolusi, serta tidak dapat menyederhanakan stereotip. Solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam rivalitas agar terhindar dari agresi atau kekerasan yang lebih tinggi ialah dengan memasukkan identitas sosial kelompok itu sendiri. Misalnya, dengan tetap mengakui bahwa kelompok suporter A merupakan pendukung tim A, dan pada saat yang sama memfasilitasi bahwa tim B beserta kelompok suporternya sebagai rival yang memiliki tingkat sama tinggi dengan mereka. Hal ini jauh lebih dapat menurunkan tingkat agresivitas suporter dibanding dengan melakukan penurunan tensi rivalitas atau bahkan hanya diam.

Manajemen dan pemangku kebijakan yang berhubungan dengan kelompok-kelompok suporter yang terlibat rivalitas dapat bekerja sama untuk mengantisipasi timbulnya korban lagi akibat kekerasan suporter. Manajemen pun harus menghargai konflik yang terjadi antara suporter klubnya dengan rival, karena itu merupakan hal penting yang berkaitan dengan identitas kelompok mereka. Manajemen harus fokus pada penciptaan identitas yang lebih tinggi untuk mengurangi agresi.




Sumber:
Berendt
, J., Uhrich, S. (2106). Enemies with benefits: the dual role of rivalry in shaping sports fans' identity. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 16 (5).
Berendt
, J., Uhrich, S. (2018). Rivalry and fan aggression: why acknowledging conflict reduces tension between rival fans and downplaying makes things worse. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 18 (4).
Havard, C.T., Hutchinson, M. (2017). Investigating rivalry in professional sport. International Journal of Sport Management. Vol. 18, 422-440.
Spaaij, R., Anderson, A. (2010). Soccer fan violence: a holistic approach.
 International Journal of Sociology. Vol. 20 (10).
Tyler
B.D., Cobbs, J.B. (2015). Rival conceptions of rivalry: why some competitions mean more than others. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 15 (2).


Jumat, 11 Januari 2019

Never Ending Story

Setelah menjalani masa-masa turun lapangan mulai dari mengerjakan preliminary study mulai sekitar tahun 2013 hingga melanjutkan studi magister, tahun 2018 lalu menjadi tahun terakhirku mengikuti dan 'peduli' sepak bola Gresik. Ya, sesuai kesepakatan awal bahwa ketika tesis selesai, maka selesai pula tanggung jawabku pada sepak bola Gresik. Terutama pada klub kesayangan Persegres GU.

Jika ditanya sedih atau tidak, pasti sedih rasanya. Apalagi sedari tahun 2013 hingga kemarin, sudah banyak suka duka yang kami alami bersama. Belum lagi peristiwa-peristiwa unik yang mengiringi perjalanan tim, hingga naik turun prestasi mereka. Rasanya cerita kami takkan pernah berakhir. 

Sekian lama mendampingi tim ini sekaligus sempat menjalin kerja sama sebagai media partner, bagiku musim 2017 adalah musim terberat yang kami lewati. Saya tahu ditahun itu pun saya melakukan kesalahan. Akibat ketidakpedulian beberapa pemain akan peristiwa buruk dalam tim, imbasnya justru saya yang harus terjun lebih dalam untuk membantu pemain lainnya tetap berdiri meski belum cukup kuat.

Kabar tentang pengaturan pertandingan hingga tunggakan gaji mengiringi jalannya musim kompetisi. Tak lupa pula, prestasi yang sudah pasti jeblok akibat hancurnya mental pemain. Saya yang saat itu seharusnya sudah melakukan uji coba penelitian akhirnya harus menunda jadwal. Bagi saya, menjaga kesehatan mental pemain yang sudah dalam kondisi kritis lebih penting. Meski saya juga harus menerima konsekuensi bahwa tesis saya jelas molor, selain akibat kesalahpahaman yang terjadi di kampus.

Sebelumnya saya sempat berdiskusi dengan dosen yang juga berkutat dengan sepak bola. Beliau setuju agar saya tetap melakukan pendampingan pada pemain di tim. Resikonya, saya harus siap menjadi musuh bagi manajemen, pelatih, dan pemain lain yang tidak setuju dengan tindakan saya, sekaligus para suporter. Faktanya, semenjak di tengah musim hingga musim kompetisi berakhir, saya benar-benar menerima konsekuensi itu yang berlanjut pada musim 2018 lalu.

Tapi pengalaman melewati masa-masa berat ditahun 2017 itu membuat saya menyadari satu hal. Kita memang harus memilih antara bertahan dengan keadaan dalam kondisi mental yang tak sehat atau pergi dari lingkungan yang tak membuat sehat mental dan mencari lingkungan baru yang lebih sehat. Keduanya pun memiliki konsekuensi masing-masing.

Hingga saya melakukan sesi foto bersama tim setelah sidang tesis lalu, saya masih merasa bersyukur pernah diberi kesempatan mengenal orang-orang baik dalam tim. Meski kami semua tentu memiliki sisi buruk masing-masing, tapi inilah perjalanan kami yang harus diakhiri. Namun, cerita tentang kami takkan pernah berakhir. Esok akan ada waktunya mengukir cerita baru bersama orang-orang baru.

Terima kasih, Persegres GU! See you when I see you!

Selasa, 10 Juli 2018

Pamit!

Pada Jumat malam lalu (06/07), akhirnya dg berat hati saya pamit ke pemain Persegres GU yg ada d mess. Pertemuan terakhir menutup penelitian sekaligus tugas saya utk lebih peduli pd tim. Meski rasanya agak sedih, tp ini sudah keputusan dr lama. Penelitian selesai, tugas saya membantu tim pun selesai.
Saya mengucapkan banyak terima kasih utk partisipasi dan kerja sama teman2 tim semua, mulai dr para pelatih, manajemen, ofisial, dan semua pemain. Saya jg mohon maaf apabila ada kekurangan, kesalahan, khilaf, atau apapun yg mungkin tidak berkenan d hati teman2 selama ini. Semoga apa yg sudah kita lakukan dpt bermanfaat utk teman2 pemain scr pribadi dan tim.

Satu pesan saya utk semua pemain:
Ketika kalian sudah mampu menjaga kebersamaan d luar lapangan, maka kalian pun akan menjadi tim yg kompak dan solid d dlm lapangan.

Semoga sukses d jalan kita masing2. Sampai jumpa lg d lain kesempatan.

Jumat, 16 Juni 2017

Ketika Persegres Dianggap Gagal



Gojek Traveloka Liga 1 sudah memasuki pekan ke-11 di bulan ramadhan ini. Namun, Persegres GU masih anteng di peringkat 17 klasemen sementara. Tim kesayangan Ultras Gresik ini hanya mampu meraih 5 poin dari sekali menang, 2 kali seri, dan 8 kali kalah. Mereka juga menjadi kontestan yang paling banyak kebobolan dengan 22 gol.
Sempat memberikan penampilan yang menjanjikan ketika perhelatan Piala Presiden pada Februari lalu, kini Persegres justru seperti tak punya taji lagi mengikuti kompetisi. Apa yang salah dengan tim ini? Saya ingin mencoba menganalisis hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi rentetan hasil buruk Persegres GU.

Target
      Sebelum kompetisi dimulai, manajemen Persegres dan Ultras sempat mengadakan pertemuan untuk membahas persiapan dan target tim di kompetisi musim 2017. Saat itu, manajemen ingin agar tim ini mampu bercokol di 10 besar klasemen (Kumara, 2017). Kemudian sebelum memasuki kick off kompetisi, manajemen mengubah target agar dapat berada di papan tengah klasemen dengan raihan 20 poin di putaran pertama liga (Ayu, 2017).
         Target manajemen memang nampaknya terbilang realistis jika melihat penampilan tim selama mengikuti Piala Presiden. Penurunan target dari manajemen pada pelatih menjadi langkah pertama pelatih dalam menentukan komposisi pemain dalam tim. Misalnya, kualitas 11 pemain utama yang dilihat dari kondisi fisik, skill, teknik, hingga strategi apa yang akan diberikan pada pemain. Termasuk pula program latihan dari tim pelatih.
    Target dari pelatih kemudian diturunkan pada pemain. Bagaimana pemain merealisasikan target dari manajemen dan pelatih, mungkin dengan menyatukan tujuan dengan sesama pemain. Target paling spesifik misalnya, dalam pertandingan hari ini harus menang dan tak hanya bermain giras saja. Jika dalam satu tim memiliki tujuan yang berbeda-beda, sudah dipastikan ketika di lapangan pun pemain pasti akan bertindak mengikuti tujuan mereka sendiri-sendiri. Mungkin ada yang hanya ingin menampilkan skill individunya, ada yang hanya ingin menang, atau ada juga beberapa yang menganggap ah yang penting main bagus.

Komunikasi
         Target dari manajemen yang kemudian diturunkan hingga ke pemain tentu saja membutuhkan komunikasi yang baik agar pemain memahami apa saja yang harus mereka lakukan. Target yang belum spesifik misalnya berada di papan tengah tak akan ada artinya jika pelatih tidak mampu mengartikan dengan baik apa yang diinginkan manajemen. Begitu pula pada pemain, pelatih tidak akan mampu membuat pemainnya meraih target yang diinginkan jika komunikasi tidak dibangun dengan baik.
          Pemain perlu tahu tujuan dan manfaat apa saja dari program latihan yang diberikan pelatih. Ketika ada beberapa yang mungkin dirasa kurang cocok atau kurang tepat, seharusnya pemain dapat mengkomunikasikan hal tersebut pada pelatih. Misalnya dengan berdiskusi. Karena seperti diketahui bahwa terkadang akan muncul rasa jenuh pada pemain ketika pelatih memberikan program latihan yang itu-itu saja dalam jangka waktu lama.
          Pemain dan pelatih berhak melakukan sharing. Pemain mengungkapkan pengalaman mereka ketika di lapangan dengan strategi-strategi yang telah diinstruksikan pelatih dan pelatih juga berhak menjelaskan mengapa memilih materi latihan atau instruksi tersebut untuk dijalani pemain. Tidak semua pemain juga mudah memahami instruksi dari pelatih, terkadang pelatih harus jeli siapa-siapa yang memang tepat menjalankan instruksi darinya.
Rotasi pemain pun terkadang perlu dilakukan untuk mengetahui hal ini. Jam terbang pemain yang jauh tak sama dapat mengurangi kualitas komunikasi antar pemain. Kalau ada pemain yang sempat miskomunikasi dengan temannya berulang kali saat bertanding, sebaiknya butuh rotasi kan? Beberapa pemain mungkin akan lebih nyaman bermain dengan teman-temannya yang sudah dekat dengannya, untuk memudahkan komunikasi di lapangan. Tak ada rotasi pemain juga dapat mengakibatkan minimnya persaingan antar pemain untuk menampilkan kemampuan terbaiknya.
Tapi kembali lagi pada kebijakan kebutuhan strategi. Satu dua kali terjadi miskomunikasi itu sudah biasa, tapi apabila itu terjadi berkelanjutan tentu bisa dibayangkan bagaimana jadinya tim kedepan. Strategi tidak jalan, permainan di lapangan kacau sana sini.

Emosi
          Emosi berhubungan langsung dengan faktor-faktor penting di lapangan. Mulai dari komunikasi, percaya diri, fokus dan konsentrasi, atau tentang menurunnya kemampuan fisik. Emosi dapat dilihat dari respon fisiologis, kognitif, dan perilaku (Lane, dkk, 2011). Bentuk respon emosi secara fisiologis dapat digambarkan dengan meningkatnya detak jantung dan napas yang semakin cepat. Respon emosi secara kognitif digambarkan dengan persepsi dan bagaimana memproses informasi yang lebih diprioritaskan, serta perubahan konsentrasi dan fokus, sedangkan respon emosi yang digambarkan dengan perilaku lebih sering terlihat ketika seorang pemain marah atau melakukan agresi terhadap lawannya yang seringkali berujung pada kartu kuning atau merah.
          Bukan hanya itu saja, coba ingat-ingat bagaimana pemain setelah kebobolan lebih dulu! Ketika pemain justru lebih bersemangat mengejar ketertinggalan, emosi mereka meningkat secara positif. Namun, ketika mereka justru menjadi lesu dan akhirnya kebobolan lagi, maka hal ini perlu diperhatikan. Selain itu, ketika tim sudah mencetak gol dan mempimpin sementara, terkadang pemain lebih percaya diri. Saking percaya dirinya, sampai lupa kembali menjaga konsentrasi untuk mempertahankan skor.
Dukungan dari sesama pemain tentu sangat diperlukan. Membangkitkan semangat satu sama lain, membantu memperbaiki fokus mereka-mereka yang mulai lelah, dan mengendalikan teman-temannya apabila permainannya sudah memasuki tahap kasar.
          Mengatur emosi dengan tetap bermain tenang dan sabar membantu pemain menjaga fisik dan konsentrasi mereka untuk tetap fokus pada pertandingan. Contoh yang paling terlihat dari setiap pertandingan Persegres adalah finishing. Penyelesaian akhir pemain seringkali tak sesuai harapan. Kenapa? Bisa jadi karena pemain kurang tenang, terburu-buru, atau bahkan terlalu berambisi mencetak gol.

Kompak
          Jika melihat penampilan Persegres GU yang tak pernah stabil, tentu akan terlihat kekompakan pemain mungkin hanya ada pada kisaran 50%-60% saja. Seringkali pemain lupa akan peranannya untuk menutup kekurangan atau kesalahan pemain lainnya. Misalnya, lini tengah merupakan pertahanan pertama yang seharusnya tidak boleh mudah terbuka. Ketika ada satu dua pemain lawan masuk ke lini tengah, seharusnya pemain lain langsung berusaha menutup pergerakan mereka. Namun, seringkali justru hal ini terlambat dilakukan oleh pemain-pemain Persegres. Akhirnya pemain belakang yang harus jatuh bangun menghalangi pemain lawan.
   Pembagian tugas masing-masing pemain juga patut dipertanyakan. Setiap pemain memiliki posisinya masing-masing dengan keahlian mereka dalam posisi tersebut. Tapi sayangnya, terkadang pemain lupa tugasnya. Siapa yang harus membantu menyerang dan memberikan bola pada pemain depan atau siapa yang harus menutup pergerakan lawan ketika mulai memasuki lini pertahanan tim.
      Kekompakan bukan hanya sekedar tentang pembagian tugas/peranan saja. Kekompakan juga tentang saling percaya satu sama lain, saling melengkapi, saling memiliki, saling mempengaruhi, adanya persahabatan antar pemain, dan juga bagaimana anggota tim begitu menikmati waktu ketika mereka bersama-sama. Kepuasan berada dalam satu tim yang sama menjadi salah satu indikator bagaimana pemain mau ikut berpartisipasi, berperan lebih lagi, dan saling peduli terhadap sesamanya. Berani mengingatkan mereka yang salah atau berbagi pengalaman antara senior dan pemain muda.

Norma (Aturan)
       Setiap tim tentu memiliki aturan atau normanya sendiri-sendiri. Hal ini yang mengatur mereka untuk tetap disiplin dan menyadarkan mereka akan kewajiban dalam tim. Hal kecil yang mungkin dapat dijadikan teguran misalnya jam istirahat pemain yang mungkin terkadang masih lalai. Ketika esok hari ada latihan pagi, seharusnya pemain dapat beristirahat maksimal jam 11 malam atau tidak begadang.
      Menjaga makanan pun terkadang menjadi persoalan sendiri ketika hal itu mempengaruhi kondisi fisik pemain. Musim lalu, saya pernah berdiskusi dengan Coach Yogie (pelatih fisik). Beliau mengatakan ada beberapa pemain yang mengeluh cepat lelah ketika latihan pagi. Setelah ditanyakan malamnya makan apa, pemain tersebut menjawab makan gorengan. Kemudian Coach Yogie menjelaskan bahwa tenaga yang dihasilkan pada pagi hari berasal dari asupan makanan yang dikonsumsi malam hari sebelumnya. Ketika malam hari pemain memakan gorengan, tak salah jika esok paginya kondisi fisiknya akan melemah.
          Menjadi pemain professional tentu saja harus dimulai dengan menjalankan hal-hal kecil secara disiplin. Mulai dari mengatur jam istirahat, pola makan, pola latihan ketika libur, atau dengan aturan-aturan tim yang disepakati bersama-sama. Mungkin adanya denda ketika tidak datang latihan atau terlambat, sanksi ketika tidak dapat mengikuti acara tim, atau bahkan adanya denda untuk pemain yang terkena kartu saat pertandingan. Mungkin terkesan terlalu mengatur, tapi apabila hal-hal seperti ini justru baik untuk tim, kenapa tidak? Ketika sudah berada dalam tim, maka disiplin bukan hanya menjadi tanggung jawab diri sendiri, melainkan seluruh anggota tim.

Lingkungan
     Lingkungan yang mengitari pemain ada tim pelatih, manajemen, dan suporter. Gambaran faktor lingkungan mempengaruhi bagaimana penampilan pemain ketika di lapangan. Dukungan dari tim pelatih, manajemen, dan suporter memiliki arti besar terhadap perkembangan penampilan pemain. Masing-masing memiliki peranan masing-masing tentunya. Manajemen mendukung dengan fasilitas dan finansialnya, tim pelatih dengan program latihannya, serta suporter dengan kehadiran dan sorakannya di stadion.
    Elemen-elemen yang membentuk lingkungan untuk pemain memberikan dampak yang baik apabila mereka mampu menjalankan peran masing-masing dengan maksimal pula. Dukungan bukan hanya sekedar kehadiran, materi, atau lainnya. Jangan pernah lupa bahwa masing-masing adalah manusia yang butuh ditegur dan diingatkan apabila ada yang salah, kurang, atau bahkan berlebihan! Tak perlu segan untuk mengingatkan, karena masing-masing adalah elemen yang saling membutuhkan satu sama lain.
 Memberikan saran dan kritik adalah salah satu bentuk kepedulian terhadap tim. Kritik itu sifatnya membangun, bukan menjatuhkan. Kritik itu dibuat untuk membangkitkan, bukan menyakiti. Saran itu diberikan untuk memperbaiki, bukan untuk menghakimi. Bentuklah lingkungan yang saling mendukung satu sama lain, karena sebuah tim yang sukses bergantung dari keharmonisan pemain, pelatih, manajemen, dan suporternya.


Sumber:
Ayu, D. (2017, 16 Mei). Inilah target manajemen persegres di putaran pertama liga 1. Tribun Jatim [on-line]. Diakses dari http://jatim.tribunnews.com/2017/05/16/inilah-target-manajemen-persegres-di-putaran-pertama-liga-1.
Kumara, T.B. (2017, 17 Januari). Demi target tinggi musim 2017, manajemen persegres bersua dengan ultras. Juara.net [on-line]. Diakses dari http://www.juara.net/read/sepak-bola/indonesia/166900-demi.target.tinggi.musim.2017.manajemen.persegres.bersua.dengan.ultras.
Lane, A., dkk. (2011). The bases expert statement on emotion regulation in sport. The          Sport and Exercise Scientist Vol. 29, 2011.

Selasa, 13 Juni 2017

Miniatur Raja Ampat di Selatan Jatim

Hari itu saya dan teman saya berangkat ke Pantai Peh Pulo yang menurut info mirip dengan Raja Ampat di Papua. Jaraknya lumayan jauh jika ditempuh dari Malang, karena letak pantai ini berada di Blitar selatan. Kesalahan kami adalah mengikuti jalan pantai yang searah dengan Pantai Jolosutro dan Pantai Serang dari daerah Kesamben. Jika dari Malang kota, jaraknya hampir sekitar 90 km. 

Pantai ini letaknya di Panggungrejo, Blitar. Jika ditempuh dari Blitar kota mungkin hanya sekitar 1,5-2 jam saja. Tapi karena kami menempuh perjalanan dari Malang, hampir 2 kali lipat lama perjalanannya. Belum lagi jalanan yang begitu menantang. Bebatuan besar-besar yang biasanya hanya dapat dilewati truk pengangkut tebu atau pembawa batuan sungai. Motor pun jika lewat jalur ini mungkin lebih kuat jika sejenis motor trail. Kami saja yang menggunakan mobil cukup kuwalahan, kadang agak selip karena menabrak batuan yang cukup besar. Jadi, pastikan kondisi kendaraanmu cukup siap ya menghadapi jalanan menuju pantai!

Tapi jangan khawatir, jika mengikuti jalan dari Blitar kota akan lebih mudah. Rata-rata jalanannya sudah beraspal. Mungkin hanya beberapa meter yang agak berlubang dan berbatu. Nanti sesampainya 3-7 km di Pantai Peh Pulo, jalannya akan semakin sempit. Ada jalur yang membentuk ban mobil. Kalau beruntung, kamu tidak akan berpapasan dengan mobil lain atau truk. Tapi untuk yang naik motor tetap hati-hati, kadang harus mengalah kalau ada mobil atau truk yang akan lewat.

Bisa dibilang jalanan makadam (bebatuan) jadi jalanan khas menuju pantai ini. Di awal hanya sedikit petunjuk yang mengarahkan, namun sekitar 3-5 km terakhir ada banyak papan kecil yang jadi penunjuk arah. Jika kesulitan, gunakan kemampuanmu untuk bertanya pada warga sekitar. Mereka akan menjawab dan menunjukkan arah dengan ramah kok.

Sesampainya di Pantai Peh Pulo, sapukan pandanganmu berkeliling pantai yang indah ini. Pasir pantai yang putih bersih. Air laut yang biru jernih. Deburan ombak yang merdu. Hembusan angin yang cukup menenangkan hati. Tak lupa pula gugusan pulau-pulau kecil di tengah laut yang terlihat jelas dari pantai. Meski panas matahari cukup menyengat siang itu, kami masih mampu menikmati ciptaan-Nya yang tak mampu membuat kami berkata-kata lagi.



Oh iya, pastikan jangan berenang ya! Kalaupun ingin bermain air, carilah ujung pantai yang aman dan tidak terkena ombak besar. Karena pantai ini merupakan pantai selatan yang langsung berbatasan dengan Samudera Hindia, ombaknya cukup besar dan berbahaya.

Kalau ingin melihat pemandangan lebih lagi, boleh lah naik ke bukit-bukit sebelah. Pulau-pulau kecil di seberang pantai akan lebih terlihat dari atas bukit. Bahkan kadang dipakai juga untuk berkemah pemuda-pemudi yang ingin menikmati pantai lebih lama. Pantai yang disebut-sebut sebagai Mini Raja Ampat ini memang begitu indah. Benar-benar membuat lupa jalanan susah yang sempat ditempuh sebelumnya. Worth it! 





Kalau lapar setelah menempuh perjalanan jauh ke salah satu pantai 'pribadi' ini, boleh mampir ke warung-warung yang ada. Ada banyak warung kok yang buka di sini. Ada banyak makanan yang ditawarkan pula. Mulai dari mie ayam, bakso, soto, dan tak lupa minuman khas pantai, degan atau kelapa muda. Cukup untuk jadi teman menikmati indahnya pantai.

Buat pecinta pantai, Pantai Peh Pulo ini jelas wajib untuk didatangi! Ingat, Indonesia ini kaya dengan pantai-pantainya yang indah. Bukan hanya Bali, Lombok, Raja Ampat, Karimun Jawa, Maluku, atau Padang saja. Bahkan tak perlu jauh-jauh ke Maladewa. Nikmati pantai-pantai indah masih di Jawa Timur!

Tapi jangan lupa, jangan pernah mengotori tempat-tempat wisata ini ya! Sayangi negerimu dengan menjaga kebersihannya! Selamat mbolang!



Minggu, 13 November 2016

Sepakbola dan Globalisasi

Pendahuluan
Sepakbola merupakan salah satu olahraga paling favorit bagi masyarakat. Di era globalisasi seperti saat ini, kultur sepakbola merujuk pada glokalisasi jika melihat dari perkembangan ekonomi permainan yang dimainkan oleh 11 orang ini (Giulianotti & Robertson, 2004). Banyak klub sepakbola di dunia yang berbondong-bondong merangkul sponsor untuk membantu mereka membiayai operasional klub dan secara tidak langsung membuat pemain mereka laku di dunia industri. Pemain-pemain bintang dari klub tersebut diajukan sebagai ikon sponsor klub yang sekaligus mempromosikan produk-produk dari sponsor. Klub-klub seperti Juventus (Italia), Manchester United (Inggris), Real Madrid (Spanyol), dan Bayern Muenchen (Jerman) bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama. Nike, Coca cola, Adidas, atau Ford menjadi perusahaan yang banyak bekerja sama dengan klub-klub sepakbola di Eropa (Giulianotti & Robertson, 2004).
Pengajuan kerja sama dengan sponsor bukan hanya melihat dari kesuksesan para klub tersebut dalam mengarungi kompetisi di negaranya masing-masing, melainkan juga melihat potensi penjualan merchandise dan banyaknya pendukung fanatik atau suporter mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Branding pada klub-klub tersebut merupakan salah satu upaya glokalisasi untuk mempersiapkan peningkatan permintaan masyarakat atas produk yang dipromosikan oleh ikon sponsor. Bukan hanya terjadi di Eropa, negara-negara di timur seperti Asia juga mulai melakukan hal yang sama. Globalisasi ekonomi pada dunia sepakbola mampu mengubah persepsi manajemen klub untuk lebih mandiri dan mempersiapkan klub mereka lebih matang secara finansial. Program PBB dalam menunjang globalisasi dunia diwujudkan dalam MDGs (Millenium Development Goals), olahraga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang salah satunya berfokus pada pembangunan ekonomi negara (Levermore & Beacom, 2009). 
Sayangnya kondisi tersebut berlainan dengan yang terjadi di negara-negara berkembang di timur seperti di Asia maupun Afrika. Bagi negara-negara di Afrika, federasi sepakbola Afrika merupakan satu-satunya penyelenggara event sepakbola sekaligus penarik sponsor bagi tim nasional maupun klub. Pemerintah dan federasi 80% menjadi sponsor yang sekaligus menyediakan subsidi bagi tim-tim yang akan berlaga (Andreff dkk, 2006).
Di negara-negara Asia sendiri, globalisasi sepakbola merambah pada sektor ekonomi ketika diadakannya event Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang pada tahun 2002. Sebagai olahraga favorit di dunia, sepakbola membantu kedua negara tersebut dari segi ekonomi dengan banyaknya suporter, media, investasi, sponsor, dan politik (Manzenreiter & Horne, 2004).
Melihat potensi sepakbola Indonesia yang dapat digunakan sebagai lahan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa sepakbola dapat majukan sebagai industri. Seperti diketahui bahwa sepakbola di negara-negara Eropa, sepakbola bukan hanya sebagai hobi atau profesi. Klub-klub melakukan modernitas pada sepakbola dan menjadikannya sebagai industri. Sebagai contoh adalah klub besar Liga Spanyol seperti Real Madrid. Real Madrid merupakan salah satu klub yang berhasil melakukan modernisasi dengan jalan pembiayaan klub melalui fans (Musawa, 2012). Sebagai klub profesional, Real Madrid juga melakukan transparansi pengelolaan klub dengan sangat baik (Realmadrid.com, 2015).
Menurut salah seorang pengamat sepakbola, Anton Sanjoyo mengatakan bahwa industrialisasi sepakbola Indonesia melibatkan kalangan industri, bisnis, dan bisnis (Kemenpora.go.id, 2016). Hal-hal semacam ini dilakukan untuk memodernisasi sepakbola Indonesia agar lebih menguntungkan, bukan hanya dari segi ekonomi, melainkan juga untuk industri bagi pelaku olahraga dan masyarakat. Menjadikan sepakbola sebagai industri bukanlah langkah yang mudah. Banyak hal yang harus dibenahi, terutama dari segi klub dan suporter yang harus memahami bagaimana menerima perubahan menuju industrialisasi sepakbola yang dapat dicontohkan dengan pengelolaan basis suporter (Nash, 2000).  
  
Budaya Sepakbola dan Globalisasi
Sepakbola kini bukan hanya sekedar olahraga atau profesi, melainkan sudah menjadi industri yang juga menopang pertumbuhan ekonomi negara. Globalisasi ditandai dengan glokalisasi, yakni ketika budaya lokal beradaptasi dan mendefinisikan budaya global untuk memenuhi kebutuhan, kepercayaan, dan adat mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam sepakbola, globalisasi menyentuh berbagai macam sektor. Bukan hanya dari segi budaya sepakbola itu sendiri, tapi juga social, ekonomi, dan politik (Giulianotti & Robertson, 2004). Robertson (1992 & 1995) menjelaskan bagaimana globalisasi menyentuh sektor-sektor tersebut menjadi 3 (Giulianotti & Robertson, 2004). Pertama ialah mengenai elemen budaya pada globalisasi sepakbola, fokus pada interdependensi lokal/tertentu dan global/universal, dan bagaimana hal-hal tersebut terefleksikan pada proses glokalisasi. Kedua, klub besar di dunia menjadi perusahaan transnasional yang berfungsi untuk mendorong globalisasi. Ketiga, sebagai pengecualian dalam globalisasi sepakbola ialah dengan mempertimbangkan isu-isu sosial yang kemudian hal ini masih dapat ditentang dengan melakukan reformasi demokrasi pada pemerintah.
Globalisasi sepakbola membuat perubahan tersendiri bagi identitas dan proses sosial menjadi universal (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam konteks kompetisi atau turnamen internasional, pemain terekspektasi dalam tim nasional masing-masing negara (Giulianotti & Robertson, 2004). Pada event tersebut juga didapatkan bahwa banyaknya suporter yang datang dari berbagai negara akan menggunakan kostum, pakaian, musik, lagu, dan pola perilaku yang berbeda-beda. Mereka membawa identitas masing-masing negara, hal inilah yang membuat relativisasi budaya global ke arah glokal (Giulianotti & Robertson, 2004).
Robertson (1995) menegaskan bahwa istilah glokalisasi membantu menjelaskan bagaimana hubungan antara lokal dan global berbeda sesuai dengan kebudayaan masing-masing (Giulianotti & Robertson, 2004). Budaya sepakbola di masing-masing negara memberikan kekhasan tersendiri dalam globalisasi sepakbola, hal ini termasuk dengan gaya bermain dari masing-masing tim atau klub di negara tersebut. Dalam perkembangan glokalisasi di sektor ekonomi dan bisnis, budaya menimbulkan persaingan mengenai pendapatan finansial maupun sponsor. Jika di Inggris kebanyakan klub kemudian menjadi perusahaan mandiri dalam bentuk perseroan terbatas, klub Italia kebanyakan mendapatkan subsidi dari pemerintah terlebih dahulu hingga mereka mampu menjadi kaya secara industri lokal (Giulianotti & Robertson, 2004).

Globalisasi dan Perusahaan Transnasional
Glokalisasi memiliki efek pada klub-klub sepakbola yang kemudian berubah menjadi perusahaan transnasional, biasanya mereka juga membawahi perusahaan yang mengurus tentang merchandise klub, media seperti televise atau surat kabar, atau melalui sister companies (Giulianotti & Robertson, 2004). Klub sepakbola yang sudah memiliki nama besar seperti Manchester United atau Real Madrid dapat bekerja sama dengan negara-negara berkembang di Asia maupun Afrika dalam hal memasukkan pemain mereka pada klub. Hal ini digunakan untuk menunjang penjualan merchandise di negara-negara timur (Giulianotti & Robertson, 2004).
Praktek perusahaan transnasional di Eropa membantu perkembangan ekonomi global terutama di negara-negara timur, seperti di Asia dan Afrika. Sebagai contoh negara-negara berkembang di Afrika memiliki tingkat partisipasi yang rendah pada event sepakbola internasional, hal ini disebabkan karena minimnya dana untuk mendukung keikutsertaan mereka dan kurangnya fasilitas yang ada di negara masing-masing (Andreff dkk, 2006). Menghadapi era globalisasi sepakbola, negara-negara berkembang belum mendapatkan efek yang berarti. Meskipun banyak pemain profesional luar negeri yang berasal dari Eropa maupun Amerika Latin yang didatangkan untuk membantu memproses globalisasi sepakbola Afrika, namun ternyata masih banyak masalah lain yang belum dapat tersentuh (Andreff dkk, 2006).
Maroko, Kamerun, dan Nigeria menjadi negara yang beberapa kali mengirimkan pemainnya untuk berkompetisi di luar Afrika pada dasarnya memiliki banyak kempetensi yang tidak jauh berbeda dengan pemain Eropa (Andreff dkk, 2006). Hal ini agak sedikit berbeda dengan negara-negara di Asia yang juga memiliki banyak negara berkembang. Pergerakan globalisasi memberikan dampak besar bagi negara berkembang di Asia.
Piala Dunia 2002 yang diadakan di Jepang dan Korea Selatan membuka globalisasi sepakbola bagi negara-negara di Asia. Banyak event yang kemudian diadakan di Asia Timur dan mampu meningkatkan ekonomi daerah (Manzenreiter & Horne, 2004). Konsep globalisasi memberikan gambaran mengenai pengembangan sepakbola menjadi industri yang membawa manfaat besar bagi ekonomi negara. Event sepakbola internasional digunakan Korea Selatan untuk mempromosikan budaya negeri hingga aset yang dapat dijadikan investasi oleh pengusaha-pengusaha di negara lain (Manzenreiter & Horne, 2004).

Globalisasi Sepakbola, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Sepakbola sebagai olahraga favorit di dunia memberikan banyak perubahan pada manusia dan negara-negara di dunia. Segala sektor tersentuh ketika globalisasi sepakbola mulai berjalan. Meski banyak negara yang kurang mendapat manfaat dari globalisasi ini, namun setidaknya globalisasi sepakbola terutama di negara-negara timur telah memberikan dampak positif.
Banyaknya klub sepakbola di negara-negara timur membuat investasi di negara-negara tersebut meningkat yang diikuti pula dengan meningkatnya ekonomi (Levermore & Beacom, 2009). Globalisasi sepakbola membawa dampak pada sistem demokrasi suatu negara, perkembangan kemanusiaan, serta kewarganegaraan menjadi fokus utama komunitas sepakbola (Giulianotti & Robertson, 2004). FIFA sebagai federasi induk sepakbola dunia memberikan kebebasan pada negara dan klub sepakbola untuk mengelola tim mereka sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini bukan hanya fokus pada industrialisasi sepakbola yang kemudian mewajibkan klub mandiri menjadi perusahaan transnasional saja. Segala macam upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem sepakbola dunia, karena sepakbola merupakan olahraga yang mengumpulkan banyak orang.
Seperti dalam program MDGs yang dirintis oleh PBB, bahwa olahraga menjadi salah satu fokus PBB untuk memperbaiki kemanusiaan, kesehatan, bahkan sistem demokrasi di berbagai belahan dunia (Levermore & Beacom, 2009). Peningkatan kemanusiaan, kesehatan, kewarganegaraan, dan demokrasi mendorong peningkatan kesejahteraan manusia di negara berkembang seiring dengan globalisasi sepakbola. Sector ekonomi dan bisnis terdorong karena klub-klub sepakbola di negara timur mulai mengikuti industrialisasi sepakbola di Eropa. Mulai dari adanya perusahaan asing yang menjadi sponsor klub loka, seperti yang terjadi pada Piala Dunia 2002 hingga akhirnya membangun pabrik di negara tersebut, seperti di Jepang.
Menurut Heinemann (1993) dan Frey (1988), revolusi pembangunan suatu negara dapat terjadi melalui olahraga modern di negara tersebut (Levermore & Beacom, 2009). FIFA sebagai induk sepakbola dunia selalu memberikan pengembangan terhadap metode sepakbola yang baru dan layak untuk digunakan di seluruh bagian dunia. Mereka juga membuat aturan tentang klausul kontrak yang layak bagi pemain (Giulianotti & Robertson, 2004). Selain itu, FIFA juga memberikan aturan-aturan tertentu yang mengikat klub dan sponsor atau investor klub agar masing-masing dari mereka sama-sama memiliki keuntungan (Giulianotti & Robertson, 2004). Hal ini menjadi fokus tersendiri ketika negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika memiliki permasalahan seperti kesehatan dan kemanusiaan, sehingga diharapkan dapat terbantu dengan adanya globalisasi sepakbola bukan hanya dari sektor ekonomi saja.

Referensi
Andreff, W. Szymanski, S., Elgar, E. (2006). Sport in developing countries: handbook on the economics of sport. Cheltenham 2006, pp. 308-315.
Cockayne, D. C., Wright, L. T. (2014). Liberating the modern chinese football fan: a theoretical perspective. In: Marking Asia Group Scholar Global Business, Marketing and Tourism Conference, November 2014, Indonesia.
Landasan negara untuk ikut mengembangkan olahraga memiliki peran yang Besar. (2016, 05 Februari). Kemenpora.go.id [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kemenpora.go.id/index/preview/berita/10367.
Levermore, R., Beacom, A. (2009). Sport and international development. Palgrave MacMilan.
Manzenreiter, W., Horne, J. (2004). Football goes east business, culture and the people’s game in china, japan and south korea. New York: Routledge.
Musawa, A. R. (2012, 21 Juni). Pembiayaan klub profesional berbasis fans. Kompasiana [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kompasiana.com/man.musawa/pembiayaan-klub-profesional-berbasis-fans_551163c7a33311c147ba7d54.
Nash, R. (2000). Contestation in modern english professional football: the independent supporters association movement. International Review for the Sociology of Sport, December 2000 35: 465-486.

Real madrid memimpin indeks transparansi klub-klub sepakbola. (2015, 14 Juli). Realmadrid.com [on-line]. Diakses pada 26 April 2016 dari http://www.realmadrid.com/id/berita/2015/07/real-madrid-memimpin-indeks-transparansi-klub-klub-sepakbola.