Rabu, 04 Juni 2014

Sepucuk Surat untuk Super Dad


04 Juni 2014    20:30

            Hari ini terhitung satu hari sebelum ulang tahun Bapak. Aku ingin mencoba sedikit mengenang hal-hal kecil tapi bermakna yang sudah ku lewati bersama beliau.
            Bapak. Ya, panggilan yang sangat simpel bagi orang Indonesia untuk seorang laki-laki yang lebih tua dan lebih dihormati. Dulu dimasa kecilku masih ku panggil Papa, tapi karena suatu hal dis ekolahku TK membuatku pulang ke rumah dengan tiba-tiba memanggilnya Bapak. Kini mungkin tak cukup lagi rasanya aku memanggil Bapak, karena bagiku panggilan yang paling tepat untuk beliau adalah ‘Superdad’.
            Lelaki super yang tak pernah mudah menyerah meski mendapat berbagai macam godaan dalam profesinya. Simpel tapi selalu mencoba memperlihatkan sosok yang kuat dan tegar sebagai lelaki. Profesional meski terkadang sudah terlihat jelas kantung matanya. Bijak dan tak pernah mencoba memaksaku untuk hal-hal yang dirasa tidak sesuai dengan hatiku. Sabar memberikanku pengertian, menceritakan pengalaman yang mungkin bisa terjadi dimasa mendatang. Luas ilmu, baik mengenai agama, disiplin ilmu formal, serta memberikanku perluasan otak dan hati untuk segala macam hal.
            Jika ditanya soal pekerjannya, beliau selalu terang-terangan mengatakan ‘serabutan’. Sebuah kata yang lebih bermakna negatif bagi beberapa orang. Beliau hanya menjelaskan pekerjaannya begitu tidak pasti. Tak juga membuatnya puas diri jika mendapat rezeki yang berlimpah (suatu saat). Ilmunya ketika mendapat rezeki, selalu dikatakan padaku bahwa sebagian dari rezeki itu masih milik mereka yang berkekurangan. Seperti yang selalu dipesankan oleh Bapak, “Kerja itu yang tulus biar bawa berkah”.
            Sosoknya yang terlihat simpel, tak pernah malu ke sana ke mari hanya menggunakan baju koko, sarung, dan peci.Bukan hanya menerima tamu, menjemputku ke sekolah, atau bahkan pulang ke kampung halaman pun sudah biasa menggunakan kostum ‘kebesaran’ itu. Mungkin aku pernah merasa aneh, tapi kini tidak lagi. Inilah beliau, sosok Bapak yang memberikanku pemahaman mendalam mengenai agama berawal dari kostum.
            Berusaha untuk selalu profesional dengan segala tanggung jawab yang diberikan, meski terkadang merasa lelah adalah hal yang biasa. Beliau lebih memilih untuk menghormati kontrak yang sudah disepakati daripada harus mundur karena alasan lelah atau ragu. Bapak selalu mengatakan padaku, “Kalau ragu ya jangan dilakukan, ikuti kata hati dan jangan lupa istikharah”. Ketegasan yang beliau ajarkan padaku jika suatu saat kontrak tersebut cacat, baru diperbolehkan mengundurkan diri. Itu pun dengan tidak menuntut. Seperti kata beliau padaku, “Selalu ada pintu lain yang terbuka ketika satu pintu ditutup.”
            Bapak bukanlah seorang tokoh agama,bukan pula seorang guru. Bapak bahkan tumbuh dalam keluarga yang biasa dan pernah mengalami banyak pengalaman tak menyenangkan. Pernah pula mendapat cobaan berat yang mengharuskan beliau memulai segalanya dari awal lagi, baik secara psikis maupun fisik. Namun, pengalamannya itu membuatnya semakin kokoh berdiri. Jika terjatuh, beliau tak hanya mengusahakan dirinya bangkit sendiri. Beliau juga berusaha membuat orang-orang yang sayang padanya ikut bangkit dan tetap bersemangat menjalani hidup.
            Banyak hal yang bisa ku ceritakan padanya. Bukan sekedar berbicara atau curhat tentang kehidupanku sehari-hari,dari ilmu agama, politik, hukum, ilmu hidup, bahkan cinta pun bisa disharingkan. Terang-terangan beberapa kali ketika teman-temanku resah tentang kehidupan cintanya, aku pun membaginya pada Bapak dan mencoba melihat cerita itu dari sisi yang lain. Beliau pun tak pernah segan berbagi jika sedang membutuhkan saran atau hanya sekedar ingin berbagi pengalaman. Beliau jg memberikan berbagai macam pandangan yang sebelumnya mungkin tak pernah ku kira. Bahkan aku juga berani menceritakan apa yang ku rasakan pada sosok laki-laki yang sedang dekat denganku. Bagiku, beliau adalah waliku. Wali nikahku nanti. Apapun yang beliau ceritakan padaku, jika itu baik akan ku ikuti. Bapak tak pernah menuntut apa-apa, namun pesannya hanya satu, “Yang penting itu agamanya, rezeki itu ada yang ngatur.”
            Sampai saat ini, semuanya berjalan lebih indah. Bapak sebagai sosok kepala keluarga, imam keluarga, bos, atau bahkan bisa disebut kapten sudah memberikan segala yang terbaik untuk kami, terutama untukku sebagai anak satu-satunya. Kini dibidang pilihanku, psikologi olahraga pun beliau tidak merasa keberatan jika aku harus berkutat dengan para atlit lelaki. Beliau selalu membuatku menemukan mana passionku. Tak hanya secara logika atau perasaan, secara agama pun beliau menuntunku menemukan mana takdirku.
            Selamat menempuh usia baru Bapak! Dengan berkurangnya usia ini, semoga semuanya selalu berjalan lebih baik. Terima kasih sudah membuatku menemukan kepuasan secara psikis dan fisik. Barakallahfii umrik Abah…