Minggu, 13 November 2016

Sepakbola dan Globalisasi

Pendahuluan
Sepakbola merupakan salah satu olahraga paling favorit bagi masyarakat. Di era globalisasi seperti saat ini, kultur sepakbola merujuk pada glokalisasi jika melihat dari perkembangan ekonomi permainan yang dimainkan oleh 11 orang ini (Giulianotti & Robertson, 2004). Banyak klub sepakbola di dunia yang berbondong-bondong merangkul sponsor untuk membantu mereka membiayai operasional klub dan secara tidak langsung membuat pemain mereka laku di dunia industri. Pemain-pemain bintang dari klub tersebut diajukan sebagai ikon sponsor klub yang sekaligus mempromosikan produk-produk dari sponsor. Klub-klub seperti Juventus (Italia), Manchester United (Inggris), Real Madrid (Spanyol), dan Bayern Muenchen (Jerman) bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama. Nike, Coca cola, Adidas, atau Ford menjadi perusahaan yang banyak bekerja sama dengan klub-klub sepakbola di Eropa (Giulianotti & Robertson, 2004).
Pengajuan kerja sama dengan sponsor bukan hanya melihat dari kesuksesan para klub tersebut dalam mengarungi kompetisi di negaranya masing-masing, melainkan juga melihat potensi penjualan merchandise dan banyaknya pendukung fanatik atau suporter mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Branding pada klub-klub tersebut merupakan salah satu upaya glokalisasi untuk mempersiapkan peningkatan permintaan masyarakat atas produk yang dipromosikan oleh ikon sponsor. Bukan hanya terjadi di Eropa, negara-negara di timur seperti Asia juga mulai melakukan hal yang sama. Globalisasi ekonomi pada dunia sepakbola mampu mengubah persepsi manajemen klub untuk lebih mandiri dan mempersiapkan klub mereka lebih matang secara finansial. Program PBB dalam menunjang globalisasi dunia diwujudkan dalam MDGs (Millenium Development Goals), olahraga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang salah satunya berfokus pada pembangunan ekonomi negara (Levermore & Beacom, 2009). 
Sayangnya kondisi tersebut berlainan dengan yang terjadi di negara-negara berkembang di timur seperti di Asia maupun Afrika. Bagi negara-negara di Afrika, federasi sepakbola Afrika merupakan satu-satunya penyelenggara event sepakbola sekaligus penarik sponsor bagi tim nasional maupun klub. Pemerintah dan federasi 80% menjadi sponsor yang sekaligus menyediakan subsidi bagi tim-tim yang akan berlaga (Andreff dkk, 2006).
Di negara-negara Asia sendiri, globalisasi sepakbola merambah pada sektor ekonomi ketika diadakannya event Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang pada tahun 2002. Sebagai olahraga favorit di dunia, sepakbola membantu kedua negara tersebut dari segi ekonomi dengan banyaknya suporter, media, investasi, sponsor, dan politik (Manzenreiter & Horne, 2004).
Melihat potensi sepakbola Indonesia yang dapat digunakan sebagai lahan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa sepakbola dapat majukan sebagai industri. Seperti diketahui bahwa sepakbola di negara-negara Eropa, sepakbola bukan hanya sebagai hobi atau profesi. Klub-klub melakukan modernitas pada sepakbola dan menjadikannya sebagai industri. Sebagai contoh adalah klub besar Liga Spanyol seperti Real Madrid. Real Madrid merupakan salah satu klub yang berhasil melakukan modernisasi dengan jalan pembiayaan klub melalui fans (Musawa, 2012). Sebagai klub profesional, Real Madrid juga melakukan transparansi pengelolaan klub dengan sangat baik (Realmadrid.com, 2015).
Menurut salah seorang pengamat sepakbola, Anton Sanjoyo mengatakan bahwa industrialisasi sepakbola Indonesia melibatkan kalangan industri, bisnis, dan bisnis (Kemenpora.go.id, 2016). Hal-hal semacam ini dilakukan untuk memodernisasi sepakbola Indonesia agar lebih menguntungkan, bukan hanya dari segi ekonomi, melainkan juga untuk industri bagi pelaku olahraga dan masyarakat. Menjadikan sepakbola sebagai industri bukanlah langkah yang mudah. Banyak hal yang harus dibenahi, terutama dari segi klub dan suporter yang harus memahami bagaimana menerima perubahan menuju industrialisasi sepakbola yang dapat dicontohkan dengan pengelolaan basis suporter (Nash, 2000).  
  
Budaya Sepakbola dan Globalisasi
Sepakbola kini bukan hanya sekedar olahraga atau profesi, melainkan sudah menjadi industri yang juga menopang pertumbuhan ekonomi negara. Globalisasi ditandai dengan glokalisasi, yakni ketika budaya lokal beradaptasi dan mendefinisikan budaya global untuk memenuhi kebutuhan, kepercayaan, dan adat mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam sepakbola, globalisasi menyentuh berbagai macam sektor. Bukan hanya dari segi budaya sepakbola itu sendiri, tapi juga social, ekonomi, dan politik (Giulianotti & Robertson, 2004). Robertson (1992 & 1995) menjelaskan bagaimana globalisasi menyentuh sektor-sektor tersebut menjadi 3 (Giulianotti & Robertson, 2004). Pertama ialah mengenai elemen budaya pada globalisasi sepakbola, fokus pada interdependensi lokal/tertentu dan global/universal, dan bagaimana hal-hal tersebut terefleksikan pada proses glokalisasi. Kedua, klub besar di dunia menjadi perusahaan transnasional yang berfungsi untuk mendorong globalisasi. Ketiga, sebagai pengecualian dalam globalisasi sepakbola ialah dengan mempertimbangkan isu-isu sosial yang kemudian hal ini masih dapat ditentang dengan melakukan reformasi demokrasi pada pemerintah.
Globalisasi sepakbola membuat perubahan tersendiri bagi identitas dan proses sosial menjadi universal (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam konteks kompetisi atau turnamen internasional, pemain terekspektasi dalam tim nasional masing-masing negara (Giulianotti & Robertson, 2004). Pada event tersebut juga didapatkan bahwa banyaknya suporter yang datang dari berbagai negara akan menggunakan kostum, pakaian, musik, lagu, dan pola perilaku yang berbeda-beda. Mereka membawa identitas masing-masing negara, hal inilah yang membuat relativisasi budaya global ke arah glokal (Giulianotti & Robertson, 2004).
Robertson (1995) menegaskan bahwa istilah glokalisasi membantu menjelaskan bagaimana hubungan antara lokal dan global berbeda sesuai dengan kebudayaan masing-masing (Giulianotti & Robertson, 2004). Budaya sepakbola di masing-masing negara memberikan kekhasan tersendiri dalam globalisasi sepakbola, hal ini termasuk dengan gaya bermain dari masing-masing tim atau klub di negara tersebut. Dalam perkembangan glokalisasi di sektor ekonomi dan bisnis, budaya menimbulkan persaingan mengenai pendapatan finansial maupun sponsor. Jika di Inggris kebanyakan klub kemudian menjadi perusahaan mandiri dalam bentuk perseroan terbatas, klub Italia kebanyakan mendapatkan subsidi dari pemerintah terlebih dahulu hingga mereka mampu menjadi kaya secara industri lokal (Giulianotti & Robertson, 2004).

Globalisasi dan Perusahaan Transnasional
Glokalisasi memiliki efek pada klub-klub sepakbola yang kemudian berubah menjadi perusahaan transnasional, biasanya mereka juga membawahi perusahaan yang mengurus tentang merchandise klub, media seperti televise atau surat kabar, atau melalui sister companies (Giulianotti & Robertson, 2004). Klub sepakbola yang sudah memiliki nama besar seperti Manchester United atau Real Madrid dapat bekerja sama dengan negara-negara berkembang di Asia maupun Afrika dalam hal memasukkan pemain mereka pada klub. Hal ini digunakan untuk menunjang penjualan merchandise di negara-negara timur (Giulianotti & Robertson, 2004).
Praktek perusahaan transnasional di Eropa membantu perkembangan ekonomi global terutama di negara-negara timur, seperti di Asia dan Afrika. Sebagai contoh negara-negara berkembang di Afrika memiliki tingkat partisipasi yang rendah pada event sepakbola internasional, hal ini disebabkan karena minimnya dana untuk mendukung keikutsertaan mereka dan kurangnya fasilitas yang ada di negara masing-masing (Andreff dkk, 2006). Menghadapi era globalisasi sepakbola, negara-negara berkembang belum mendapatkan efek yang berarti. Meskipun banyak pemain profesional luar negeri yang berasal dari Eropa maupun Amerika Latin yang didatangkan untuk membantu memproses globalisasi sepakbola Afrika, namun ternyata masih banyak masalah lain yang belum dapat tersentuh (Andreff dkk, 2006).
Maroko, Kamerun, dan Nigeria menjadi negara yang beberapa kali mengirimkan pemainnya untuk berkompetisi di luar Afrika pada dasarnya memiliki banyak kempetensi yang tidak jauh berbeda dengan pemain Eropa (Andreff dkk, 2006). Hal ini agak sedikit berbeda dengan negara-negara di Asia yang juga memiliki banyak negara berkembang. Pergerakan globalisasi memberikan dampak besar bagi negara berkembang di Asia.
Piala Dunia 2002 yang diadakan di Jepang dan Korea Selatan membuka globalisasi sepakbola bagi negara-negara di Asia. Banyak event yang kemudian diadakan di Asia Timur dan mampu meningkatkan ekonomi daerah (Manzenreiter & Horne, 2004). Konsep globalisasi memberikan gambaran mengenai pengembangan sepakbola menjadi industri yang membawa manfaat besar bagi ekonomi negara. Event sepakbola internasional digunakan Korea Selatan untuk mempromosikan budaya negeri hingga aset yang dapat dijadikan investasi oleh pengusaha-pengusaha di negara lain (Manzenreiter & Horne, 2004).

Globalisasi Sepakbola, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Sepakbola sebagai olahraga favorit di dunia memberikan banyak perubahan pada manusia dan negara-negara di dunia. Segala sektor tersentuh ketika globalisasi sepakbola mulai berjalan. Meski banyak negara yang kurang mendapat manfaat dari globalisasi ini, namun setidaknya globalisasi sepakbola terutama di negara-negara timur telah memberikan dampak positif.
Banyaknya klub sepakbola di negara-negara timur membuat investasi di negara-negara tersebut meningkat yang diikuti pula dengan meningkatnya ekonomi (Levermore & Beacom, 2009). Globalisasi sepakbola membawa dampak pada sistem demokrasi suatu negara, perkembangan kemanusiaan, serta kewarganegaraan menjadi fokus utama komunitas sepakbola (Giulianotti & Robertson, 2004). FIFA sebagai federasi induk sepakbola dunia memberikan kebebasan pada negara dan klub sepakbola untuk mengelola tim mereka sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini bukan hanya fokus pada industrialisasi sepakbola yang kemudian mewajibkan klub mandiri menjadi perusahaan transnasional saja. Segala macam upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem sepakbola dunia, karena sepakbola merupakan olahraga yang mengumpulkan banyak orang.
Seperti dalam program MDGs yang dirintis oleh PBB, bahwa olahraga menjadi salah satu fokus PBB untuk memperbaiki kemanusiaan, kesehatan, bahkan sistem demokrasi di berbagai belahan dunia (Levermore & Beacom, 2009). Peningkatan kemanusiaan, kesehatan, kewarganegaraan, dan demokrasi mendorong peningkatan kesejahteraan manusia di negara berkembang seiring dengan globalisasi sepakbola. Sector ekonomi dan bisnis terdorong karena klub-klub sepakbola di negara timur mulai mengikuti industrialisasi sepakbola di Eropa. Mulai dari adanya perusahaan asing yang menjadi sponsor klub loka, seperti yang terjadi pada Piala Dunia 2002 hingga akhirnya membangun pabrik di negara tersebut, seperti di Jepang.
Menurut Heinemann (1993) dan Frey (1988), revolusi pembangunan suatu negara dapat terjadi melalui olahraga modern di negara tersebut (Levermore & Beacom, 2009). FIFA sebagai induk sepakbola dunia selalu memberikan pengembangan terhadap metode sepakbola yang baru dan layak untuk digunakan di seluruh bagian dunia. Mereka juga membuat aturan tentang klausul kontrak yang layak bagi pemain (Giulianotti & Robertson, 2004). Selain itu, FIFA juga memberikan aturan-aturan tertentu yang mengikat klub dan sponsor atau investor klub agar masing-masing dari mereka sama-sama memiliki keuntungan (Giulianotti & Robertson, 2004). Hal ini menjadi fokus tersendiri ketika negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika memiliki permasalahan seperti kesehatan dan kemanusiaan, sehingga diharapkan dapat terbantu dengan adanya globalisasi sepakbola bukan hanya dari sektor ekonomi saja.

Referensi
Andreff, W. Szymanski, S., Elgar, E. (2006). Sport in developing countries: handbook on the economics of sport. Cheltenham 2006, pp. 308-315.
Cockayne, D. C., Wright, L. T. (2014). Liberating the modern chinese football fan: a theoretical perspective. In: Marking Asia Group Scholar Global Business, Marketing and Tourism Conference, November 2014, Indonesia.
Landasan negara untuk ikut mengembangkan olahraga memiliki peran yang Besar. (2016, 05 Februari). Kemenpora.go.id [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kemenpora.go.id/index/preview/berita/10367.
Levermore, R., Beacom, A. (2009). Sport and international development. Palgrave MacMilan.
Manzenreiter, W., Horne, J. (2004). Football goes east business, culture and the people’s game in china, japan and south korea. New York: Routledge.
Musawa, A. R. (2012, 21 Juni). Pembiayaan klub profesional berbasis fans. Kompasiana [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kompasiana.com/man.musawa/pembiayaan-klub-profesional-berbasis-fans_551163c7a33311c147ba7d54.
Nash, R. (2000). Contestation in modern english professional football: the independent supporters association movement. International Review for the Sociology of Sport, December 2000 35: 465-486.

Real madrid memimpin indeks transparansi klub-klub sepakbola. (2015, 14 Juli). Realmadrid.com [on-line]. Diakses pada 26 April 2016 dari http://www.realmadrid.com/id/berita/2015/07/real-madrid-memimpin-indeks-transparansi-klub-klub-sepakbola.

Sabtu, 05 November 2016

Belajar Mencintai dengan Sederhana dari Ultras

Saya mungkin sudah tak ingat kapan pertama kali melihat penampilan salah satu kelompok suporter terbaik di Indonesia ini. Ultras namanya, kepanjangan dari Ulah Terampil dan Rasional. Saya cuma ingat, selalu melihat ribuan orang yang bernama Ultras ini berkumpul di Stadion Petrokimia ketika Petrokimia Putra bertanding. Saat itu yang bisa saya rasakan cuma satu, merinding. Anak sekolah ini merinding disko waktu melihat tribun stadion bagaikan lautan kuning yang mengelilingi lapangan.
Entah itu sudah berapa tahun lalu, mungkin 10 tahun lebih. Kelompok suporter ini berkembang pesat, mulai dari anggotanya, hingga kreativitasnya. Kecintaannya pada sepakbola Gresik juga semakin pekat. Kesetiaannya mendampingi tim mulai jaman Petrokimia Putra, Gresik United, hingga sekarang Persegres Gresik United pun sudah tak perlu diragukan.
Pemain yang datang, pergi, dan kembali lagi juga selalu mengingat Ultras. Ketika saya mengobrol dengan Coach Sasi Kirono yang dulu juga membela Petrokimia Putra, beliau sempat bercerita sedikit tentang awal mula Ultras. “Dulu jaman saya main di Petro, Ultras itu paling cuma 20an orang nggak sampai. Itu segelintir orang aja duduk di tribun situ,” ujarnya sambil menunjuk Sektor 3 yang dimaksud.
Cintanya tulus untuk tim. Mereka mencintai tim dengan cara yang sederhana. Kehadirannya hampir di setiap pertandingan, baik di Gresik, maupun di kandang lawan. Nyanyiannya sepanjang pertandingan. Koreografinya yang tak lepas dari gambaran semangat mereka untuk tim. Hingga tulisan-tulisan dan lukisan pada spanduk maupun bendera yang mereka tampilkan. Bagaimana mungkin tak jatuh cinta dengan Ultras?
Suporter dan tim itu bagai sepasang kekasih. Cinta mereka tak lekang oleh waktu. Takkan habis dimakan usia. Dan cinta mereka tak pernah kenal usia. Mulai dari anak-anak hingga kakek nenek pun banyak yang menjadi anggota Ultras. Toleransi mereka terhadap sesama suporter juga tak perlu diragukan. Jumat malam lalu sempat bertemu dengan salah seorang anggota Ultras sepulang dari menonton pertandingan Madura United dengan Persegres GU, teman saya menyapanya dan bertanya kenapa dia naik motor sendirian. Kemudian lelaki ini menjawab, “Iya, soalnya tadi ada cewek naik motor sendirian. Kasihan. Jadi motornya saya bawa, dia biar naik bis aja.”
Ultras mencintai tim dengan cara-caranya sendiri. Menjadi diri sendiri, jati diri Ultras itu sendiri. Jika cinta diukur dari pengorbanan, kehadiran, kesetiaan, kedewasaan, atau bahkan hadiah yang mampu diberikan, Ultras sudah cukup memenuhi segala syarat itu. Sudah cukup telak. Usianya pun tahun ini genap 17 tahun. Mereka tak perlu membuat Surat Ijin Mencintai (SIM) tim. Tujuh belas tahun menjadi usia yang matang bagi kedewasaan manusia, namun Ultras sudah cukup matang seiring perkembangan usianya. Menjadi percontohan suporter yang selalu cinta damai. Lalu, Nikmat-Nya mana lagi yang mau kau dustakan ketika dicintai oleh Ultras?

Rabu, 21 September 2016

Harmoni Keluarga Ultras dan Persegres Gresik United

Satu bersama kita kuat
Satu bersama kita hebat
Dalam satu lingkaran kebersamaan
Kita merapat tuk satu tujuan

Kan ku jaga semangatmu
Kan ku ukir di jiwaku
Demi kejayaan Gresik Unitedku
Lepaskan semua egomu
Tunjukkanlah loyalitasmu
Ultras Gresik kan selalu mendukungmu
           (Ukiran Jiwa-Ultrasmania Gresik)

          Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, sayup-sayup terdengar suara Ultrasmania di Sektor 5 sedang menyanyi dengan semangat untuk mendukung tim kesayangan mereka, Persegres Gresik United. Meski pertandingan berlangsung cukup malam, namun hal itu ternyata tidak mengurangi semangat para Ultras untuk terus menyanyi sepanjang pertandingan.
         Hari itu entah yang keberapa kalinya saya salut mendengar suara nyanyian Ultras yang tak kenal lelah bernyanyi dan bergerak membuat koreografi. Terlihat luar biasa bagi kami yang berada jauh dari tribun Sektor 5, bahkan sampai merinding dan terharu melihatnya.
       Pemain-pemain asli Gresik tidak pernah dapat memungkiri bahwa peranan Ultras begitu besar bagi performa tim. Hal itu pula yang membuat mereka enggan pergi dari publik Gresik. Tak jauh beda dengan pemain-pemain asli Gresik, para pemain yang berasal dari luar Gresik pun mengatakan bahwa Ultras merupakan suporter yang luar biasa. Loyalitasnya sudah tak perlu dipertanyakan lagi.
        Kekaguman saya berlanjut ketika terjun langsung dalam penyusunan profil pemain Persegres Gresik United untuk buletin Joko Samudro News. Mencari info dan mewawancarai pemain bukan hanya tentang tim, melainkan juga bagaimana kesan mereka terhadap atmosfir sepakbola di Gresik, Ultrasmania khususnya. Hampir semua pemain mengatakan bahwa Ultras menjadi salah satu faktor terkuat yang membuat mereka betah berada di Gresik.
          Sekian banyak pemain yang sempat saya tanya pendapatnya perihal Ultras, saya paling ingat dengan perkataan dari Muhammad Rifqi, “Seumur hidupku, baru ini didukung suporter yang loyal.”
         Pelatih-pelatih yang sempat menangani Persegres Gresik United juga mengutarakan hal yang sama. Beberapa waktu lalu, Coach Liestiadi sempat mengatakan, “Tanpa Ultras, Persegres bukanlah apa-apa.”
Seminggu yang lalu, saya sempat bertemu dengan Coach Widodo dan saat itu beliau langsung berkata, “Ultras luar biasa ya sekarang!” 
Tak jauh beda dengan yang beliau utarakan pada saya ketika tahun lalu meminta ijin untuk foto tim sebagai kado ulang tahun Ultras, “Kami bukan apa-apa tanpa Ultras.”

We are not just a team, we are family. (Sumber: https://twitter.com/persegresfc)

    Perkembangan jaman pun memiliki peran penting terhadap Ultrasmania. Teknologi ponsel yang memudahkan masyarakat untuk bersosial media membuat jarak antara manajemen, pelatih, pemain, dan Ultras lebih dekat. Sebut saja aplikasi Instagram, siapa yang tidak punya aplikasi tersebut di ponselnya. Berbagai macam foto dan video yang diunggah pemain dan Ultras membuat pengalaman mereka makin meluas dan diketahui khalayak banyak.
     Bahkan pemain seperti Riyandi Ramadhana, Inkyun Oh, dan Patrick da Silva seringkali berbalas komentar dengan Ultrasmania. Hal ini secara tidak langsung membuat masing-masing elemen penentu kesuksesan tim semakin dekat dan akrab. Seperti yang pernah ditampilkan pada koreo Ultras, ‘Kemenangan Berawal dari Keharmonisan.’
     Sadarilah bahwa sebenarnya kesuksesan sebuah tim bukan hanya bergantung pada pemain atau pelatih saja. Jika tim adalah keluarga kecil, maka manajemen, pelatih, pemain, dan suporter adalah sebuah keluarga besar. Kesuksesan sebuah keluarga ditentukan oleh bagaimana kekompakan anggota di dalamnya. Masing-masing mampu menjalankan peranannya dengan baik. Ya, kesuksesan Persegres Gresik United bergantung pada kekompakan tim dan Ultrasmania.


Gresik, 21 September 2016

Kamis, 18 Agustus 2016

Nahkoda Terbaik Kapal Persegres Gresik United

           Siapa yang tidak mengenal Agus Indra Kurniawan, putra daerah yang karirnya melejit ketika bersama Petrokimia Putra dan sempat merasakan nikmatnya juara Liga Indonesia pada musim 2001-2002. Setelah sempat berpindah ke Persija selama tujuh tahun, pada 2011 lalu Jepang, panggilan akrabnya, kembali membela tim tanah kelahirannya, Persegres Gresik United. Namun, pada musim 2014 ia kembali merantau ke Bandung dan bergabung dengan Pelita Bandung Raya (PBR). Hampir dua musim bersama PBR, Agus Indra akhirnya harus menepi dari lapangan selama hampir 10 bulan akibat cedera lutut.
             Turnamen Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 menjadi momen kembalinya Agus Indra di lapangan dan bergabung dengan tim Persegres Gresik United. Sebagai putra daerah sekaligus pemain yang dianggap sudah memiliki banyak pengalaman dalam dunia sepakbola, kehadirannya diharapkan mampu mendongkrak semangat pemain-pemain lain agar berusaha semaksimal mungkin demi prestasi tim.
Menurut Stefanus Bungaran dan Yusuf Efendi, Agus Indra sering memberikan masukan dan motivasi bagi pemain lainnya. “Sering diingatkan untuk saling menutupi ketika berada di lapangan,” kata Stefanus yang juga bermain di lini tengah seperti Agus Indra. Arsyad Yusgiantoro bersama dengan Madenta (Persegres GU U-21) pun mengatakan hal yang sama, menurut mereka Agus Indra merupakan pemain yang cocok sebagai panutan.
           Ghozali Muharram dan Riyandi Ramadhana yang sempat berada satu tim semasa di PBR mengatakan bahwa Agus Indra merupakan sosok pemain yang disegani. “Mas Agus Indra itu punya kewibawaan tersendiri yang bisa bikin pemain respek,” ucap Riyandi. Begitu pula dengan Sandi Firmansyah yang sebelumnya juga pernah sama-sama bermain di Persegres GU pada musim 2012-2013, “Nggak perlu diragukan lagi. Kualitas.”
            Wismoyo mengatakan, “Mas Agus itu mentor, panutan, dan sahabat.” David Faristian menambahkan bahwa Agus Indra selalu memberi contoh yang baik dan mampu memotivasi seluruh pemain di saat kondisi terpuruk sekalipun. Setali tiga uang dengan Wismoyo dan David, Achmad Faris atau Alex mengungkapkan bahwa ia belajar banyak hal dari Agus Indra, termasuk tentang tanggung jawab terhadap sesama pemain dan tim.
Tak salah jika pelatih kepala Persegres GU menunjuk Agus Indra sebagai kapten. ”Agus sudah berpengalaman. Pernah merasakan juara bersama Petrokimia Putra, bermain di klub besar seperti Persija dan timnas,” kata Liestiadi. Ia juga menambahkan bahwa ada semangat tersendiri dari Agus Indra sebagai putra daerah untuk membawa nama Persegres GU pada prestasi yang lebih baik.
Bukan hanya di tim, Agus Indra juga menjadi sosok yang dibanggakan oleh Ultrasmania. Ia dikenal sebagai pemain yang ramah pada suporter. Ketua umum Ultrasmania, Muharom mengatakan, “Sebagai kapten di tim kebanggaan Ultras Gresik, Mas Agus sangatlah cocok. Orangnya juga sangat baik dan sopan, seakan tidak ada jarak dengan Ultras.”
Dikonfirmasi terpisah atas pendapat rekan-rekannya, Agus Indra menganggap bahwa semua pemain memiliki peran yang sama pentingnya di tim. Ia juga berharap agar Persegres GU dapat meraih prestasi yang membanggakan. “Untuk teman-teman, mari sama-sama berjuang semaksimal mungkin untuk mewujudkan harapan tersebut menjadi kenyataan,” tambahnya.

Performa yang ditunjukkan Agus Indra dkk selama turnamen TSC ini, cukup membanggakan bila dilihat dari kekompakan tim. Ibarat seperti kapal, Agus Indra adalah kaptennya dan pemain lainnya adalah awak kapalnya. Kapten bekerja sama dengan awak kapal untuk memaksimalkan kemampuan masing-masing agar dapat segera mencapai tujuan. Untuk selanjutnya patut ditunggu performa manis dari Agus Indra dkk. Never give up, Capt!






Naskah ini diedit dan kemudian dipublikasin di Buletin Joko Samudro News milik Persegres Gresik United Edisi 7/Jumat, 12 Agustus 2016.

Senin, 09 Mei 2016

Menang Tanpa Arogansi Kalah Tanpa Mencaci

https://twitter.com/JCIndonesia

Bagi teman-teman Juventini pasti sudah tidak asing dengan quote ini. “Menang tanpa arogansi, kalah tanpa mencaci.” Quote yang selalu dikeluarkan oleh akun twitter resmi Juventus Club Indonesia (@JCIndonesia) setiap pertandingan Juventus usai. Quote yang ringan tapi memiliki arti dalam. Meminta untuk tidak jumawa, sombong, ataupun mudah puas dengan kemenangan yang sudah tercapai dan meminta membiasakan diri untuk tidak mencaci atau mempersalahkan orang lain di tiap kekalahan yang terjadi.
Quote ini yang sempat saya gunakan untuk memotivasi tim Persegres Gresik United. Kenapa? Bisa dibilang beberapa di antara pemain memanglah Juventini, meskipun tidak terlalu terlihat. Mereka tidak juga rajin mengikuti kabar tentang JCI, Cuma Juventus saja.
Sejak beberapa tahun lalu mengikuti kabar perkembangan tim ini, saya mengamati berbagai hal, mulai dari teknis hingga psikis. Namun, saya memang lebih fokus tentang psikis pemain karena kebanyakan klub di Indonesia ini mengesampingkan apapun tentang psikologis pemain. Banyak yang akhirnya nyeletuk, “Atmosfir sepakbola Indonesia itu keren dan lebih menantang.” Yah, tuntutan untuk selalu menang memang jadi hal yang sudah biasa diutarakan pendukung dan supporter tim.
Selain quote dari JCI, saya sempat menemukan salah satu quote dari akun instagram islami. Saya lupa nama akunnya, namun saya selalu ingat quotenya. “Jangan terbang karena pujian, jangan tumbang karena cacian!
Masih quote yang ringan seperti quote dari JCI yang saya kutip. Memiliki kemiripan makna. Quote ini bermaksud agar tidak jumawa atau sombong ketika mendapat pujian dan tidak mudah drop atau jatuh ketika dicaci orang lain.
Kedua quote ini seringkali saya munculkan ketika pertandingan Persegres Gresik United akan dilangsungkan atau justru setelah pertandingan. Quote-quote semacam ini dapat digunakan sebagai salah satu motivasi tambahan bagi pemain. Bukan hanya diharapkan untuk menambah motivasi ketika akan bertanding, tapi juga menjaga psikis mereka dalam kondisi lebih stabil.
Kepuasan setelah mendapat kemenangan dan mendapat pujian dari berbagai pihak, terutama suporter harus dikendalikan dengan tetap menjaga semangat mereka untuk pertandingan-pertandingan selanjutnya. Begitu pula sebaliknya, ketika mendapatkan hasil kurang maksimal, pemain harus dapat menjaga kondisi psikisnya agar tidak turun. Tidak berputus asa dengan hasil yang didapatkan.
Menang, kalah, atau seri dalam sebuah pertandingan itu sudah biasa. Hal yang luar biasa adalah semangat yang tetap membara untuk selalu lebih baik di setiap pertandingan. Hadapi semua yang terjadi dengan berpikir positif, maka mental pun akan makin kuat.

Menang tanpa arogansi, kalah tanpa mencaci.”
Jangan terbang karena pujian, jangan tumbang karena cacian!


Semangat berjuang kawan!

Kamis, 21 Januari 2016

Beda Generasi Beda Nasib

           Di tengah kondisi sepakbola Indonesia yang masih mengambang statusnya ini, saya mencoba flashbackpada 11 tahun lalu, tepatnya tahun 2005. Tahun dimana tim nasional usia di bawah 23 tahun terbentuk dan mulai ramai dibicarakan masyarakat Indonesia. Pada tahun inilah semua pemain terbaik di seluruh Indonesia dikumpulkan menjadi satu tim, dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Mempersiapkan sebuah tim untuk berlaga di Sea Games yang saat itu Filipina menjadi tuan rumah.
            Saya masih ingat saat itu ada pemain yang berasal dari PSIS Semarang, Persita Tangerang, Persim Maros, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija Jakarta, dan tim-tim lainnya. Sebagian dari tim itu mungkin kini sudah sangat jarang terdengar lagi namanya.  Masa-masa itu, pemain yang sebelumnya mungkin tidak  terlalu terlihat menonjol di timnya ternyata juga memiliki kesempatan untuk bersaing mendapatkan posisi starting eleven timnas u-23.
            Beberapa pemain timnas u-23 di tahun 2005 masih saya ingat namanya, bahkan di antara mereka masih memiliki karir yang bagus hingga saat ini. Bertahan dengan penampilannya dan masih mampu bersaing dengan banyaknya pemain muda yang bermunculan beberapa tahun ini. Sebut saja ada Hamka Hamzah yang masih aktif sebagai pemain Pusamania Borneo FC, Firman Utina yang kini menjadi pemain Sriwijaya FC, Maman Abdurrahman di Persib Bandung, Leonard Tupamahu di Persipasi Bandung Raya, Jendry Pitoy dan Siswanto yang sempat membela bendera Surabaya United, Agus Indra Kurniawan yang sempat membela Persipasi Bandung Raya, Samsul Chaeruddin dari PSM Makassar, Saktiawan Sinaga juga sempat bermain untuk PSS Sleman, Jimmy Suparno di Arema Malang, Mahyadi Panggabean dan Zaenal Arifin di Persela Lamongan, Fery Rotinsulu yang sempat menjadi kiper utama Sriwijaya FC sebelum akhirnya cedera, serta masih banyak lainnya.


       Selain itu banyak di antara mereka masih aktif bermain baik untuk tim profesional maupun mengikuti turnamen-turnamen kecil yang diselenggarakan beberapa daerah. Bahkan kini Indriyanto Nugroho masih aktif bermain sepakbola dengan pemain-pemain senior seperti Yeyen Tumena, Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, dan lainnya. Pemain-pemain alumni timnas u-23 ini setidaknya memiliki masa berkarir yang cukup panjang dibandingkan dengan alumni-alumni timnas beberapa tahun lalu, yang mungkin di antaranya justru kini diributkan oleh kondisi force majeur dan bagaimana harus mempertahankan karir mereka jika tidak bermain di negeri sendiri.
Ya, jika dibandingkan dengan kondisi 11 tahun lalu mungkin akan sangat banyak perbedaan yang terjadi. Segi kompetisi, finansial, hingga tentang aturan-aturan baru yang telah diterapkan oleh PSSI dan pemerintah sampai saat ini. Namun, setidaknya saya ingin mengambil sisi positif dari pengalaman para pemain timnas u-23 di era 2005 tersebut. Dilihat dari segi ketahanan fisik saja sudah terlihat benar perbedaannya, seperti diketahui oleh dunia kesehatan bahwa mereka yang sudah terlatih rajin berolahraga dan terbiasa hidup sehat akan bertahan lebih lama menghadapi tekanan-tekanan latihan fisik. Makanan yang sehat dan sesuai dengan gizi yang dibutuhkan oleh pemain, pola latihan dan istirahat, adanya porsi pembenahan psikologis pada pemain baik dari pendekatan pelatih maupun manajemen tim, dan lain sebagainya.
Saya ingat betul ketika timnas u-23 ini menjalani training centre, baik di dalam maupun luar negeri. Bangun pagi hari dan memulai latihan pukul 7-9, sarapan bersama, setelah itu pemain memiliki waktu luang hingga makan siang tiba. Pukul 1 setelah makan siang, pemain diharapkan tidak keluar dari tempat TC agar beristirahat siang. Malam hari pun jika ingin bepergian masih diijinkan, namun mereka tetap harus pulang sebelum pukul setengah 10 dan pukul 10 malam diharuskan tidur. Pola disiplin ditegakkan pada semua anggota tim nasional saat itu.
Hasilnya? Semua itu berfungsi dengan baik hingga saat ini. Kondisi fisik maupun fisiologis para alumni timnas u-23 tersebut masih terjaga. Mungkin hanya beberapa pemain saja yang mulai tenggelam namanya akibat cedera. Namun, di luar itu mereka masih berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka dengan profesi yang tak jauh dari kesukaan mereka, sepakbola.
Tak ada kesuksesan yang instan. Mie instan saja masih membutuhkan proses masak agar dapat dimanfaatkan. Begitu juga untuk bermain sepakbola. Diperlukan kedisiplinan dan keyakinan kuat untuk bertahan menghadapi segala persaingan.