Kamis, 21 Januari 2016

Beda Generasi Beda Nasib

           Di tengah kondisi sepakbola Indonesia yang masih mengambang statusnya ini, saya mencoba flashbackpada 11 tahun lalu, tepatnya tahun 2005. Tahun dimana tim nasional usia di bawah 23 tahun terbentuk dan mulai ramai dibicarakan masyarakat Indonesia. Pada tahun inilah semua pemain terbaik di seluruh Indonesia dikumpulkan menjadi satu tim, dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia. Mempersiapkan sebuah tim untuk berlaga di Sea Games yang saat itu Filipina menjadi tuan rumah.
            Saya masih ingat saat itu ada pemain yang berasal dari PSIS Semarang, Persita Tangerang, Persim Maros, PSM Makassar, PSMS Medan, Persija Jakarta, dan tim-tim lainnya. Sebagian dari tim itu mungkin kini sudah sangat jarang terdengar lagi namanya.  Masa-masa itu, pemain yang sebelumnya mungkin tidak  terlalu terlihat menonjol di timnya ternyata juga memiliki kesempatan untuk bersaing mendapatkan posisi starting eleven timnas u-23.
            Beberapa pemain timnas u-23 di tahun 2005 masih saya ingat namanya, bahkan di antara mereka masih memiliki karir yang bagus hingga saat ini. Bertahan dengan penampilannya dan masih mampu bersaing dengan banyaknya pemain muda yang bermunculan beberapa tahun ini. Sebut saja ada Hamka Hamzah yang masih aktif sebagai pemain Pusamania Borneo FC, Firman Utina yang kini menjadi pemain Sriwijaya FC, Maman Abdurrahman di Persib Bandung, Leonard Tupamahu di Persipasi Bandung Raya, Jendry Pitoy dan Siswanto yang sempat membela bendera Surabaya United, Agus Indra Kurniawan yang sempat membela Persipasi Bandung Raya, Samsul Chaeruddin dari PSM Makassar, Saktiawan Sinaga juga sempat bermain untuk PSS Sleman, Jimmy Suparno di Arema Malang, Mahyadi Panggabean dan Zaenal Arifin di Persela Lamongan, Fery Rotinsulu yang sempat menjadi kiper utama Sriwijaya FC sebelum akhirnya cedera, serta masih banyak lainnya.


       Selain itu banyak di antara mereka masih aktif bermain baik untuk tim profesional maupun mengikuti turnamen-turnamen kecil yang diselenggarakan beberapa daerah. Bahkan kini Indriyanto Nugroho masih aktif bermain sepakbola dengan pemain-pemain senior seperti Yeyen Tumena, Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwi Yulianto, dan lainnya. Pemain-pemain alumni timnas u-23 ini setidaknya memiliki masa berkarir yang cukup panjang dibandingkan dengan alumni-alumni timnas beberapa tahun lalu, yang mungkin di antaranya justru kini diributkan oleh kondisi force majeur dan bagaimana harus mempertahankan karir mereka jika tidak bermain di negeri sendiri.
Ya, jika dibandingkan dengan kondisi 11 tahun lalu mungkin akan sangat banyak perbedaan yang terjadi. Segi kompetisi, finansial, hingga tentang aturan-aturan baru yang telah diterapkan oleh PSSI dan pemerintah sampai saat ini. Namun, setidaknya saya ingin mengambil sisi positif dari pengalaman para pemain timnas u-23 di era 2005 tersebut. Dilihat dari segi ketahanan fisik saja sudah terlihat benar perbedaannya, seperti diketahui oleh dunia kesehatan bahwa mereka yang sudah terlatih rajin berolahraga dan terbiasa hidup sehat akan bertahan lebih lama menghadapi tekanan-tekanan latihan fisik. Makanan yang sehat dan sesuai dengan gizi yang dibutuhkan oleh pemain, pola latihan dan istirahat, adanya porsi pembenahan psikologis pada pemain baik dari pendekatan pelatih maupun manajemen tim, dan lain sebagainya.
Saya ingat betul ketika timnas u-23 ini menjalani training centre, baik di dalam maupun luar negeri. Bangun pagi hari dan memulai latihan pukul 7-9, sarapan bersama, setelah itu pemain memiliki waktu luang hingga makan siang tiba. Pukul 1 setelah makan siang, pemain diharapkan tidak keluar dari tempat TC agar beristirahat siang. Malam hari pun jika ingin bepergian masih diijinkan, namun mereka tetap harus pulang sebelum pukul setengah 10 dan pukul 10 malam diharuskan tidur. Pola disiplin ditegakkan pada semua anggota tim nasional saat itu.
Hasilnya? Semua itu berfungsi dengan baik hingga saat ini. Kondisi fisik maupun fisiologis para alumni timnas u-23 tersebut masih terjaga. Mungkin hanya beberapa pemain saja yang mulai tenggelam namanya akibat cedera. Namun, di luar itu mereka masih berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka dengan profesi yang tak jauh dari kesukaan mereka, sepakbola.
Tak ada kesuksesan yang instan. Mie instan saja masih membutuhkan proses masak agar dapat dimanfaatkan. Begitu juga untuk bermain sepakbola. Diperlukan kedisiplinan dan keyakinan kuat untuk bertahan menghadapi segala persaingan.