Rabu, 24 September 2014

Bisnis dengan Allah : Membantu Orang Lain


24 September 2014 19:45


Pagi ini seperti pagi biasanya, jam 7 sampai jam 9 aku harus membersihkan kandang kelinciku satu-satunya baru kemudian aku membersihkan rumah. Bapak pun bersiap-siap masuk kantor dan berkeliling kota lagi. Tapi ada sedikit yang berbeda dipagi ini, ada sebuah pesan masuk ke ponselnya yang mengatakan bahwa barang yang diinginkan Bapak sudah siap, apakah jadi diambil atau tidak. Setidaknya orang tersebut menunggu kepastian dari Bapak dalam beberapa hari kedepan.            

Bapak yang sembari bersiap kemudian memencet sebuah nomor untuk menelepon, nomor temannya. Beliau menawarkan barang yang memang sekiranya sudah ikhlas dilepas. Semua dikatakan apa adanya, kondisi barang, harga, hingga alasan mengapa menawarkan barang tersebut tak luput disebutkan. Hingga kemudian beliau memanggilku dan menjelaskan segala macam proses pelepasan barang tersebut. Bapak selalu berbagi apa yang memang dapat membuatku belajar banyak mengenai kehidupan, kemudian percakapan serius pun dimulai.            

Beberapa kali keluarga kami sempat dicap sebagai keluarga yang sering berganti kendaraan. Ya, hampir setiap tahun. Sekian lama proses tersebut, Bapak selalu menjelaskan padaku bahwa beliau memang lebih memilih investasi dengan kendaraan daripada properti atau yang lain. Kemudian Bapak bertanya padaku apakah aku tahu alasan yang sebernarnya menggunakan jalur investasi ini, padahal sudah jelas bahwa harga kendaraan selalu turun setelah dipakai. Pasti ada kerugian harga dibaliknya.         

“Kamu tahu kenapa Bapak lebih memilih investasi dengan ini?”           

“Enggak. Setahuku sekali-sekali kan Bapak bisa invest rumah atau tanah. Tiap tahun kan harganya naik, ada untungnya dari situ.”            

“Iya, Ibumu dan orang-orang juga sering bilang gitu.”            

Aku yang berbicara sambil minum obat flu pun berhenti sejenak. Pandangan kami sama-sama serius di depan meja makan. Kemudian Bapak mulai menjelaskan lagi, “Inves tanah dan rumah itu memang menguntungkan, tiap tahun harganya naik banyak. Banyak orang juga kan yang nyari dan lama-lama dapatnya juga makin sedikit.”            

Aku mengangguk pelan.

“Aku milih jalan ini soalnya aku kasihan sama orang lain. Mereka yang butuh rumah dan butuh tanah. Makin tahun makin mahal, terus makin sempit kan dapatnya? Nanti kalau mereka nggak punya uang gimana? Kamu tega ngambil jatahnya orang lain?”            

Tubuh dan otakku rasanya lemas mendengar penjelasan itu. Aku cuma bisa diam melihat beliau dengan serius menekankan kalimat-kalimat terakhir itu.            

“Aku nganggep ini jalanku bantu orang lain. Anggep aja aku ini bisnis sama Allah, dengan bantu orang lain. Aku nggak butuh jadi orang kaya raya. Punya banyak rumah dimana-mana atau punya tanah terus dijual lagi tahun depannya. Bagiku segini udah cukup. Sama kayak aku nabung di bank, dapat bunga juga termasuk riba’. Itu makanya langsung aja ngambil buat kebutuhan sendiri atau bantuin yang lain yang emang lebih butuh.”            

Kali ini pertahananku runtuh. Mataku sudah berkaca-kaca tak sanggup menatap imam keluarga kecilku ini. Aku berpura-pura mengambil air minum sambil mendengarkan penjelasan beliau yang sukses meluluhkan hatiku. Lalu bapak menanyaiku lagi, “Sekarang kamu sudah paham kenapa aku gini?”           

 Aku cuma mengangguk pelan tanda setuju. Kemudian beliau pergi ke kamar untuk bersiap-siap ke kantor. Sampai aku membukakan pintu pagar dan menutupnya kembali setelah beliau pergi, air mataku akhirnya turun juga. Sungguhlah beruntung aku ini dibanding mereka-mereka yang mungkin memiliki segalanya atau malah menganggapku memiliki segalanya. Setidaknya keberuntunganku adalah memiliki seorang ayah yang tak hanya mengajarkanku cara bertahan hidup dengan logika dan kenyataan, tapi dengan bekal agama dan keimanan untuk akhiratku.