Kamis, 11 April 2019

Rivalitas Tanpa Batas atau Terbatas Identitas?

Kita tentu sudah sering mendengar maupun membaca kata rivalitas. Rivalitas begitu erat dihubungkan dengan olahraga, terutama sepak bola. Di Indonesia, rivalitas dalam sepak bola akan menjadi ramai dibahas ketika sudah tentang dua tim yang dianggap sarat dengan sejarah. Misalnya, Arema Malang dan Persebaya Surabaya, Persija Jakarta dan Persib Bandung, atau PSS Sleman dan PSIM Jogjakarta. Rivalitas kedua tim kemudian berimbas pada suporter masing-masing tim tersebut. Tak jarang pula rivalitas tinggi membuat sederetan insiden kekerasan yang mungkin berujung kematian.

Kalimat 'Rivalitas Tanpa Batas' begitu sering dibahas, namun sebenarnya apa yang dimaksud dengan rivalitas itu sendiri?

Dalam penelitian berjudul 
Rival Conceptions of Rivalry: Why Some Competitions Mean More Than Others, rivalitas diartikan sebagai hubungan permusuhan yang ada di antara dua tim, pemain, atau kelompok suporter, yang bisa dilihat melalui kompetisi, di dalam lapangan, atau insiden di luar lapangan, akibat kedekatan, susunan demografis, dan/atau kejadian sejarah. Rivalitas memiliki beberapa kekhasan, misalnya adanya hubungan intens dan saling sengit antara dua tim atau kelompok suporter mereka, merupakan persaingan sejak lama atau dianggap derby, terkadang dapat mengandung bonus tertentu apabila dapat mengalahkan tim rival atau lawan tertentu, serta merupakan dampak dari kedekatan geografis.

Rivalitas adalah salah satu elemen penting dalam kompetisi olahraga, namun faktanya kadang patokan apa yang membuat mereka dianggap rival/saingan atau yang lain hanya sekadar lawan masih belum jelas. Rivalitas hanya dianggap sebagai suatu persaingan sengit yang melibatkan kelompok suporter. Kedua kelompok suporter yang sama-sama berusaha mempertahankan bahkan memperkuat identitasnya masing-masing.


Identitas kelompok juga menjadi masalah utama dalam rivalitas. Identitas sosial kelompok yang dibuat oleh masing-masing kelompok suporter secara tidak langsung meleburkan identitas individu-individu yang ada di dalamnya. Mereka akan berinteraksi satu sama lain, bahkan dalam beberapa kasus dapat mengubah identitas mereka dengan identitas kelompoknya. Ada beberapa individu yang merasa belum puas dengan keikutsertaannya dalam kelompok justru akan mengeluarkan pernyataan atau perilaku yang cenderung merendahkan kelompok suporter lain maupun rival hanya demi diakui menjadi bagian dari kelompoknya. Perilaku seperti inilah yang kemudian dapat menimbulkan bentrok 
atau agresi suporter.

Kekerasan yang melibatkan suporter sebenarnya tidak hanya merupakan dampak dari rivalitas yang tinggi. Artikel penelitian berjudul Soccer Fan Violence: A Holistic Approach membahas beberapa penyebab terjadinya agresi atau kekerasan yang melibatkan suporter, di antaranya akibat permainan agresif kedua tim, adanya intervensi dari agen kontrol sosial (pemimpin daerah, ketua kelompok, panutan), bentuk fisik dan psikologis tempat bertanding atau bertemunya suporter, peran media massa, serta relasi antar kelompok suporter. Faktor-faktor tersebut tentunya juga dipengaruhi oleh kebiasan dan identitas sosial masing-masing kelompok.

Penelitian berjudul Enemies With Benefits: The Dual Role of Rivalry in Shaping Sports Fans' Identity yang dilakukan oleh Berendt & Uhrich mengeksplorasi tentang efek ganda rivalitas dalam hal identitas suporter. Mereka menemukan sisi negatif dan positif dari adanya rivalitas antar kelompok suporter. Rivalitas dianggap mengancam identitas suporter yang dapat dilihat dari harga diri kolektif (collective self-esteem) yang lebih rendah dalam kaitannya dengan suporter tim rival. Rivalitas menjadi sesuatu yang berbalut gengsi demi mempertahankan eksistensi mereka sebagai kelompok suporter. Karena itulah mereka selalu menginginkan kemenangan bagi tim kesayangannya, agar ketika timnya mengalami peningkatan eksistensi, eksistensi mereka pun ikut naik.

Selain itu, penelitian tersebut juga mengungkap dampak positif dari rivalitas, yakni tingginya persepsi harga diri kolektif yang kaitannya dengan kelompok suporter bukan rival. Dalam hal ini, persepsi khas dalam kelompok serta kekompakan (kohesi) mereka pun ikut meningkat.Ini terjadi karena mereka akan menganggap bahwa kelompok mereka sudah dapat melewati konflik dengan baik dan menjadi lebih kompak.

Lalu, berarti rivalitas itu harus dihapus saja agar tidak menimbulkan korban ya? Eits, tunggu dulu!

Hasil menarik didapatkan dari penelitian berjudul Rivalry and Fan Aggression: Why Acknowledging Conflict Reduces Tension between Rival Fans and Downplaying Makes Things Worse. Penelitian yang membahas tentang rivalitas dan agresi suporter ini menemukan bahwa rivalitas tidak boleh dihapus, diganti, atau bahkan meremehkannya. Rivalitas yang berusaha dinetralisir ternyata akan membuat suporter menjadi tidak jelas, meskipun sebenarnya persepsi ini bermanfaat.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas, rivalitas merupakan konflik identitas. Konflik ini tidak dapat diselesaikan apabila sudah terjadi berlarut-larut, telah menolak resolusi, serta tidak dapat menyederhanakan stereotip. Solusi yang dapat ditawarkan untuk meredam rivalitas agar terhindar dari agresi atau kekerasan yang lebih tinggi ialah dengan memasukkan identitas sosial kelompok itu sendiri. Misalnya, dengan tetap mengakui bahwa kelompok suporter A merupakan pendukung tim A, dan pada saat yang sama memfasilitasi bahwa tim B beserta kelompok suporternya sebagai rival yang memiliki tingkat sama tinggi dengan mereka. Hal ini jauh lebih dapat menurunkan tingkat agresivitas suporter dibanding dengan melakukan penurunan tensi rivalitas atau bahkan hanya diam.

Manajemen dan pemangku kebijakan yang berhubungan dengan kelompok-kelompok suporter yang terlibat rivalitas dapat bekerja sama untuk mengantisipasi timbulnya korban lagi akibat kekerasan suporter. Manajemen pun harus menghargai konflik yang terjadi antara suporter klubnya dengan rival, karena itu merupakan hal penting yang berkaitan dengan identitas kelompok mereka. Manajemen harus fokus pada penciptaan identitas yang lebih tinggi untuk mengurangi agresi.




Sumber:
Berendt
, J., Uhrich, S. (2106). Enemies with benefits: the dual role of rivalry in shaping sports fans' identity. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 16 (5).
Berendt
, J., Uhrich, S. (2018). Rivalry and fan aggression: why acknowledging conflict reduces tension between rival fans and downplaying makes things worse. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 18 (4).
Havard, C.T., Hutchinson, M. (2017). Investigating rivalry in professional sport. International Journal of Sport Management. Vol. 18, 422-440.
Spaaij, R., Anderson, A. (2010). Soccer fan violence: a holistic approach.
 International Journal of Sociology. Vol. 20 (10).
Tyler
B.D., Cobbs, J.B. (2015). Rival conceptions of rivalry: why some competitions mean more than others. Journal of European Sport and Management Quarterly. Vol. 15 (2).


Jumat, 11 Januari 2019

Never Ending Story

Setelah menjalani masa-masa turun lapangan mulai dari mengerjakan preliminary study mulai sekitar tahun 2013 hingga melanjutkan studi magister, tahun 2018 lalu menjadi tahun terakhirku mengikuti dan 'peduli' sepak bola Gresik. Ya, sesuai kesepakatan awal bahwa ketika tesis selesai, maka selesai pula tanggung jawabku pada sepak bola Gresik. Terutama pada klub kesayangan Persegres GU.

Jika ditanya sedih atau tidak, pasti sedih rasanya. Apalagi sedari tahun 2013 hingga kemarin, sudah banyak suka duka yang kami alami bersama. Belum lagi peristiwa-peristiwa unik yang mengiringi perjalanan tim, hingga naik turun prestasi mereka. Rasanya cerita kami takkan pernah berakhir. 

Sekian lama mendampingi tim ini sekaligus sempat menjalin kerja sama sebagai media partner, bagiku musim 2017 adalah musim terberat yang kami lewati. Saya tahu ditahun itu pun saya melakukan kesalahan. Akibat ketidakpedulian beberapa pemain akan peristiwa buruk dalam tim, imbasnya justru saya yang harus terjun lebih dalam untuk membantu pemain lainnya tetap berdiri meski belum cukup kuat.

Kabar tentang pengaturan pertandingan hingga tunggakan gaji mengiringi jalannya musim kompetisi. Tak lupa pula, prestasi yang sudah pasti jeblok akibat hancurnya mental pemain. Saya yang saat itu seharusnya sudah melakukan uji coba penelitian akhirnya harus menunda jadwal. Bagi saya, menjaga kesehatan mental pemain yang sudah dalam kondisi kritis lebih penting. Meski saya juga harus menerima konsekuensi bahwa tesis saya jelas molor, selain akibat kesalahpahaman yang terjadi di kampus.

Sebelumnya saya sempat berdiskusi dengan dosen yang juga berkutat dengan sepak bola. Beliau setuju agar saya tetap melakukan pendampingan pada pemain di tim. Resikonya, saya harus siap menjadi musuh bagi manajemen, pelatih, dan pemain lain yang tidak setuju dengan tindakan saya, sekaligus para suporter. Faktanya, semenjak di tengah musim hingga musim kompetisi berakhir, saya benar-benar menerima konsekuensi itu yang berlanjut pada musim 2018 lalu.

Tapi pengalaman melewati masa-masa berat ditahun 2017 itu membuat saya menyadari satu hal. Kita memang harus memilih antara bertahan dengan keadaan dalam kondisi mental yang tak sehat atau pergi dari lingkungan yang tak membuat sehat mental dan mencari lingkungan baru yang lebih sehat. Keduanya pun memiliki konsekuensi masing-masing.

Hingga saya melakukan sesi foto bersama tim setelah sidang tesis lalu, saya masih merasa bersyukur pernah diberi kesempatan mengenal orang-orang baik dalam tim. Meski kami semua tentu memiliki sisi buruk masing-masing, tapi inilah perjalanan kami yang harus diakhiri. Namun, cerita tentang kami takkan pernah berakhir. Esok akan ada waktunya mengukir cerita baru bersama orang-orang baru.

Terima kasih, Persegres GU! See you when I see you!