Minggu, 13 November 2016

Sepakbola dan Globalisasi

Pendahuluan
Sepakbola merupakan salah satu olahraga paling favorit bagi masyarakat. Di era globalisasi seperti saat ini, kultur sepakbola merujuk pada glokalisasi jika melihat dari perkembangan ekonomi permainan yang dimainkan oleh 11 orang ini (Giulianotti & Robertson, 2004). Banyak klub sepakbola di dunia yang berbondong-bondong merangkul sponsor untuk membantu mereka membiayai operasional klub dan secara tidak langsung membuat pemain mereka laku di dunia industri. Pemain-pemain bintang dari klub tersebut diajukan sebagai ikon sponsor klub yang sekaligus mempromosikan produk-produk dari sponsor. Klub-klub seperti Juventus (Italia), Manchester United (Inggris), Real Madrid (Spanyol), dan Bayern Muenchen (Jerman) bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama. Nike, Coca cola, Adidas, atau Ford menjadi perusahaan yang banyak bekerja sama dengan klub-klub sepakbola di Eropa (Giulianotti & Robertson, 2004).
Pengajuan kerja sama dengan sponsor bukan hanya melihat dari kesuksesan para klub tersebut dalam mengarungi kompetisi di negaranya masing-masing, melainkan juga melihat potensi penjualan merchandise dan banyaknya pendukung fanatik atau suporter mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Branding pada klub-klub tersebut merupakan salah satu upaya glokalisasi untuk mempersiapkan peningkatan permintaan masyarakat atas produk yang dipromosikan oleh ikon sponsor. Bukan hanya terjadi di Eropa, negara-negara di timur seperti Asia juga mulai melakukan hal yang sama. Globalisasi ekonomi pada dunia sepakbola mampu mengubah persepsi manajemen klub untuk lebih mandiri dan mempersiapkan klub mereka lebih matang secara finansial. Program PBB dalam menunjang globalisasi dunia diwujudkan dalam MDGs (Millenium Development Goals), olahraga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang salah satunya berfokus pada pembangunan ekonomi negara (Levermore & Beacom, 2009). 
Sayangnya kondisi tersebut berlainan dengan yang terjadi di negara-negara berkembang di timur seperti di Asia maupun Afrika. Bagi negara-negara di Afrika, federasi sepakbola Afrika merupakan satu-satunya penyelenggara event sepakbola sekaligus penarik sponsor bagi tim nasional maupun klub. Pemerintah dan federasi 80% menjadi sponsor yang sekaligus menyediakan subsidi bagi tim-tim yang akan berlaga (Andreff dkk, 2006).
Di negara-negara Asia sendiri, globalisasi sepakbola merambah pada sektor ekonomi ketika diadakannya event Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang pada tahun 2002. Sebagai olahraga favorit di dunia, sepakbola membantu kedua negara tersebut dari segi ekonomi dengan banyaknya suporter, media, investasi, sponsor, dan politik (Manzenreiter & Horne, 2004).
Melihat potensi sepakbola Indonesia yang dapat digunakan sebagai lahan perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa sepakbola dapat majukan sebagai industri. Seperti diketahui bahwa sepakbola di negara-negara Eropa, sepakbola bukan hanya sebagai hobi atau profesi. Klub-klub melakukan modernitas pada sepakbola dan menjadikannya sebagai industri. Sebagai contoh adalah klub besar Liga Spanyol seperti Real Madrid. Real Madrid merupakan salah satu klub yang berhasil melakukan modernisasi dengan jalan pembiayaan klub melalui fans (Musawa, 2012). Sebagai klub profesional, Real Madrid juga melakukan transparansi pengelolaan klub dengan sangat baik (Realmadrid.com, 2015).
Menurut salah seorang pengamat sepakbola, Anton Sanjoyo mengatakan bahwa industrialisasi sepakbola Indonesia melibatkan kalangan industri, bisnis, dan bisnis (Kemenpora.go.id, 2016). Hal-hal semacam ini dilakukan untuk memodernisasi sepakbola Indonesia agar lebih menguntungkan, bukan hanya dari segi ekonomi, melainkan juga untuk industri bagi pelaku olahraga dan masyarakat. Menjadikan sepakbola sebagai industri bukanlah langkah yang mudah. Banyak hal yang harus dibenahi, terutama dari segi klub dan suporter yang harus memahami bagaimana menerima perubahan menuju industrialisasi sepakbola yang dapat dicontohkan dengan pengelolaan basis suporter (Nash, 2000).  
  
Budaya Sepakbola dan Globalisasi
Sepakbola kini bukan hanya sekedar olahraga atau profesi, melainkan sudah menjadi industri yang juga menopang pertumbuhan ekonomi negara. Globalisasi ditandai dengan glokalisasi, yakni ketika budaya lokal beradaptasi dan mendefinisikan budaya global untuk memenuhi kebutuhan, kepercayaan, dan adat mereka (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam sepakbola, globalisasi menyentuh berbagai macam sektor. Bukan hanya dari segi budaya sepakbola itu sendiri, tapi juga social, ekonomi, dan politik (Giulianotti & Robertson, 2004). Robertson (1992 & 1995) menjelaskan bagaimana globalisasi menyentuh sektor-sektor tersebut menjadi 3 (Giulianotti & Robertson, 2004). Pertama ialah mengenai elemen budaya pada globalisasi sepakbola, fokus pada interdependensi lokal/tertentu dan global/universal, dan bagaimana hal-hal tersebut terefleksikan pada proses glokalisasi. Kedua, klub besar di dunia menjadi perusahaan transnasional yang berfungsi untuk mendorong globalisasi. Ketiga, sebagai pengecualian dalam globalisasi sepakbola ialah dengan mempertimbangkan isu-isu sosial yang kemudian hal ini masih dapat ditentang dengan melakukan reformasi demokrasi pada pemerintah.
Globalisasi sepakbola membuat perubahan tersendiri bagi identitas dan proses sosial menjadi universal (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam konteks kompetisi atau turnamen internasional, pemain terekspektasi dalam tim nasional masing-masing negara (Giulianotti & Robertson, 2004). Pada event tersebut juga didapatkan bahwa banyaknya suporter yang datang dari berbagai negara akan menggunakan kostum, pakaian, musik, lagu, dan pola perilaku yang berbeda-beda. Mereka membawa identitas masing-masing negara, hal inilah yang membuat relativisasi budaya global ke arah glokal (Giulianotti & Robertson, 2004).
Robertson (1995) menegaskan bahwa istilah glokalisasi membantu menjelaskan bagaimana hubungan antara lokal dan global berbeda sesuai dengan kebudayaan masing-masing (Giulianotti & Robertson, 2004). Budaya sepakbola di masing-masing negara memberikan kekhasan tersendiri dalam globalisasi sepakbola, hal ini termasuk dengan gaya bermain dari masing-masing tim atau klub di negara tersebut. Dalam perkembangan glokalisasi di sektor ekonomi dan bisnis, budaya menimbulkan persaingan mengenai pendapatan finansial maupun sponsor. Jika di Inggris kebanyakan klub kemudian menjadi perusahaan mandiri dalam bentuk perseroan terbatas, klub Italia kebanyakan mendapatkan subsidi dari pemerintah terlebih dahulu hingga mereka mampu menjadi kaya secara industri lokal (Giulianotti & Robertson, 2004).

Globalisasi dan Perusahaan Transnasional
Glokalisasi memiliki efek pada klub-klub sepakbola yang kemudian berubah menjadi perusahaan transnasional, biasanya mereka juga membawahi perusahaan yang mengurus tentang merchandise klub, media seperti televise atau surat kabar, atau melalui sister companies (Giulianotti & Robertson, 2004). Klub sepakbola yang sudah memiliki nama besar seperti Manchester United atau Real Madrid dapat bekerja sama dengan negara-negara berkembang di Asia maupun Afrika dalam hal memasukkan pemain mereka pada klub. Hal ini digunakan untuk menunjang penjualan merchandise di negara-negara timur (Giulianotti & Robertson, 2004).
Praktek perusahaan transnasional di Eropa membantu perkembangan ekonomi global terutama di negara-negara timur, seperti di Asia dan Afrika. Sebagai contoh negara-negara berkembang di Afrika memiliki tingkat partisipasi yang rendah pada event sepakbola internasional, hal ini disebabkan karena minimnya dana untuk mendukung keikutsertaan mereka dan kurangnya fasilitas yang ada di negara masing-masing (Andreff dkk, 2006). Menghadapi era globalisasi sepakbola, negara-negara berkembang belum mendapatkan efek yang berarti. Meskipun banyak pemain profesional luar negeri yang berasal dari Eropa maupun Amerika Latin yang didatangkan untuk membantu memproses globalisasi sepakbola Afrika, namun ternyata masih banyak masalah lain yang belum dapat tersentuh (Andreff dkk, 2006).
Maroko, Kamerun, dan Nigeria menjadi negara yang beberapa kali mengirimkan pemainnya untuk berkompetisi di luar Afrika pada dasarnya memiliki banyak kempetensi yang tidak jauh berbeda dengan pemain Eropa (Andreff dkk, 2006). Hal ini agak sedikit berbeda dengan negara-negara di Asia yang juga memiliki banyak negara berkembang. Pergerakan globalisasi memberikan dampak besar bagi negara berkembang di Asia.
Piala Dunia 2002 yang diadakan di Jepang dan Korea Selatan membuka globalisasi sepakbola bagi negara-negara di Asia. Banyak event yang kemudian diadakan di Asia Timur dan mampu meningkatkan ekonomi daerah (Manzenreiter & Horne, 2004). Konsep globalisasi memberikan gambaran mengenai pengembangan sepakbola menjadi industri yang membawa manfaat besar bagi ekonomi negara. Event sepakbola internasional digunakan Korea Selatan untuk mempromosikan budaya negeri hingga aset yang dapat dijadikan investasi oleh pengusaha-pengusaha di negara lain (Manzenreiter & Horne, 2004).

Globalisasi Sepakbola, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Sepakbola sebagai olahraga favorit di dunia memberikan banyak perubahan pada manusia dan negara-negara di dunia. Segala sektor tersentuh ketika globalisasi sepakbola mulai berjalan. Meski banyak negara yang kurang mendapat manfaat dari globalisasi ini, namun setidaknya globalisasi sepakbola terutama di negara-negara timur telah memberikan dampak positif.
Banyaknya klub sepakbola di negara-negara timur membuat investasi di negara-negara tersebut meningkat yang diikuti pula dengan meningkatnya ekonomi (Levermore & Beacom, 2009). Globalisasi sepakbola membawa dampak pada sistem demokrasi suatu negara, perkembangan kemanusiaan, serta kewarganegaraan menjadi fokus utama komunitas sepakbola (Giulianotti & Robertson, 2004). FIFA sebagai federasi induk sepakbola dunia memberikan kebebasan pada negara dan klub sepakbola untuk mengelola tim mereka sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini bukan hanya fokus pada industrialisasi sepakbola yang kemudian mewajibkan klub mandiri menjadi perusahaan transnasional saja. Segala macam upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem sepakbola dunia, karena sepakbola merupakan olahraga yang mengumpulkan banyak orang.
Seperti dalam program MDGs yang dirintis oleh PBB, bahwa olahraga menjadi salah satu fokus PBB untuk memperbaiki kemanusiaan, kesehatan, bahkan sistem demokrasi di berbagai belahan dunia (Levermore & Beacom, 2009). Peningkatan kemanusiaan, kesehatan, kewarganegaraan, dan demokrasi mendorong peningkatan kesejahteraan manusia di negara berkembang seiring dengan globalisasi sepakbola. Sector ekonomi dan bisnis terdorong karena klub-klub sepakbola di negara timur mulai mengikuti industrialisasi sepakbola di Eropa. Mulai dari adanya perusahaan asing yang menjadi sponsor klub loka, seperti yang terjadi pada Piala Dunia 2002 hingga akhirnya membangun pabrik di negara tersebut, seperti di Jepang.
Menurut Heinemann (1993) dan Frey (1988), revolusi pembangunan suatu negara dapat terjadi melalui olahraga modern di negara tersebut (Levermore & Beacom, 2009). FIFA sebagai induk sepakbola dunia selalu memberikan pengembangan terhadap metode sepakbola yang baru dan layak untuk digunakan di seluruh bagian dunia. Mereka juga membuat aturan tentang klausul kontrak yang layak bagi pemain (Giulianotti & Robertson, 2004). Selain itu, FIFA juga memberikan aturan-aturan tertentu yang mengikat klub dan sponsor atau investor klub agar masing-masing dari mereka sama-sama memiliki keuntungan (Giulianotti & Robertson, 2004). Hal ini menjadi fokus tersendiri ketika negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika memiliki permasalahan seperti kesehatan dan kemanusiaan, sehingga diharapkan dapat terbantu dengan adanya globalisasi sepakbola bukan hanya dari sektor ekonomi saja.

Referensi
Andreff, W. Szymanski, S., Elgar, E. (2006). Sport in developing countries: handbook on the economics of sport. Cheltenham 2006, pp. 308-315.
Cockayne, D. C., Wright, L. T. (2014). Liberating the modern chinese football fan: a theoretical perspective. In: Marking Asia Group Scholar Global Business, Marketing and Tourism Conference, November 2014, Indonesia.
Landasan negara untuk ikut mengembangkan olahraga memiliki peran yang Besar. (2016, 05 Februari). Kemenpora.go.id [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kemenpora.go.id/index/preview/berita/10367.
Levermore, R., Beacom, A. (2009). Sport and international development. Palgrave MacMilan.
Manzenreiter, W., Horne, J. (2004). Football goes east business, culture and the people’s game in china, japan and south korea. New York: Routledge.
Musawa, A. R. (2012, 21 Juni). Pembiayaan klub profesional berbasis fans. Kompasiana [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari http://www.kompasiana.com/man.musawa/pembiayaan-klub-profesional-berbasis-fans_551163c7a33311c147ba7d54.
Nash, R. (2000). Contestation in modern english professional football: the independent supporters association movement. International Review for the Sociology of Sport, December 2000 35: 465-486.

Real madrid memimpin indeks transparansi klub-klub sepakbola. (2015, 14 Juli). Realmadrid.com [on-line]. Diakses pada 26 April 2016 dari http://www.realmadrid.com/id/berita/2015/07/real-madrid-memimpin-indeks-transparansi-klub-klub-sepakbola.

Sabtu, 05 November 2016

Belajar Mencintai dengan Sederhana dari Ultras

Saya mungkin sudah tak ingat kapan pertama kali melihat penampilan salah satu kelompok suporter terbaik di Indonesia ini. Ultras namanya, kepanjangan dari Ulah Terampil dan Rasional. Saya cuma ingat, selalu melihat ribuan orang yang bernama Ultras ini berkumpul di Stadion Petrokimia ketika Petrokimia Putra bertanding. Saat itu yang bisa saya rasakan cuma satu, merinding. Anak sekolah ini merinding disko waktu melihat tribun stadion bagaikan lautan kuning yang mengelilingi lapangan.
Entah itu sudah berapa tahun lalu, mungkin 10 tahun lebih. Kelompok suporter ini berkembang pesat, mulai dari anggotanya, hingga kreativitasnya. Kecintaannya pada sepakbola Gresik juga semakin pekat. Kesetiaannya mendampingi tim mulai jaman Petrokimia Putra, Gresik United, hingga sekarang Persegres Gresik United pun sudah tak perlu diragukan.
Pemain yang datang, pergi, dan kembali lagi juga selalu mengingat Ultras. Ketika saya mengobrol dengan Coach Sasi Kirono yang dulu juga membela Petrokimia Putra, beliau sempat bercerita sedikit tentang awal mula Ultras. “Dulu jaman saya main di Petro, Ultras itu paling cuma 20an orang nggak sampai. Itu segelintir orang aja duduk di tribun situ,” ujarnya sambil menunjuk Sektor 3 yang dimaksud.
Cintanya tulus untuk tim. Mereka mencintai tim dengan cara yang sederhana. Kehadirannya hampir di setiap pertandingan, baik di Gresik, maupun di kandang lawan. Nyanyiannya sepanjang pertandingan. Koreografinya yang tak lepas dari gambaran semangat mereka untuk tim. Hingga tulisan-tulisan dan lukisan pada spanduk maupun bendera yang mereka tampilkan. Bagaimana mungkin tak jatuh cinta dengan Ultras?
Suporter dan tim itu bagai sepasang kekasih. Cinta mereka tak lekang oleh waktu. Takkan habis dimakan usia. Dan cinta mereka tak pernah kenal usia. Mulai dari anak-anak hingga kakek nenek pun banyak yang menjadi anggota Ultras. Toleransi mereka terhadap sesama suporter juga tak perlu diragukan. Jumat malam lalu sempat bertemu dengan salah seorang anggota Ultras sepulang dari menonton pertandingan Madura United dengan Persegres GU, teman saya menyapanya dan bertanya kenapa dia naik motor sendirian. Kemudian lelaki ini menjawab, “Iya, soalnya tadi ada cewek naik motor sendirian. Kasihan. Jadi motornya saya bawa, dia biar naik bis aja.”
Ultras mencintai tim dengan cara-caranya sendiri. Menjadi diri sendiri, jati diri Ultras itu sendiri. Jika cinta diukur dari pengorbanan, kehadiran, kesetiaan, kedewasaan, atau bahkan hadiah yang mampu diberikan, Ultras sudah cukup memenuhi segala syarat itu. Sudah cukup telak. Usianya pun tahun ini genap 17 tahun. Mereka tak perlu membuat Surat Ijin Mencintai (SIM) tim. Tujuh belas tahun menjadi usia yang matang bagi kedewasaan manusia, namun Ultras sudah cukup matang seiring perkembangan usianya. Menjadi percontohan suporter yang selalu cinta damai. Lalu, Nikmat-Nya mana lagi yang mau kau dustakan ketika dicintai oleh Ultras?