Saya mungkin sudah tak ingat kapan pertama kali melihat penampilan salah satu kelompok suporter terbaik di Indonesia ini. Ultras namanya, kepanjangan dari Ulah Terampil dan Rasional. Saya cuma ingat, selalu melihat ribuan orang yang bernama Ultras ini berkumpul di Stadion Petrokimia ketika Petrokimia Putra bertanding. Saat itu yang bisa saya rasakan cuma satu, merinding. Anak sekolah ini merinding disko waktu melihat tribun stadion bagaikan lautan kuning yang mengelilingi lapangan.
Entah itu sudah berapa tahun lalu, mungkin 10 tahun lebih. Kelompok suporter ini berkembang pesat, mulai dari anggotanya, hingga kreativitasnya. Kecintaannya pada sepakbola Gresik juga semakin pekat. Kesetiaannya mendampingi tim mulai jaman Petrokimia Putra, Gresik United, hingga sekarang Persegres Gresik United pun sudah tak perlu diragukan.
Pemain yang datang, pergi, dan kembali lagi juga selalu mengingat Ultras. Ketika saya mengobrol dengan Coach Sasi Kirono yang dulu juga membela Petrokimia Putra, beliau sempat bercerita sedikit tentang awal mula Ultras. “Dulu jaman saya main di Petro, Ultras itu paling cuma 20an orang nggak sampai. Itu segelintir orang aja duduk di tribun situ,” ujarnya sambil menunjuk Sektor 3 yang dimaksud.
Cintanya tulus untuk tim. Mereka mencintai tim dengan cara yang sederhana. Kehadirannya hampir di setiap pertandingan, baik di Gresik, maupun di kandang lawan. Nyanyiannya sepanjang pertandingan. Koreografinya yang tak lepas dari gambaran semangat mereka untuk tim. Hingga tulisan-tulisan dan lukisan pada spanduk maupun bendera yang mereka tampilkan. Bagaimana mungkin tak jatuh cinta dengan Ultras?
Suporter dan tim itu bagai sepasang kekasih. Cinta mereka tak lekang oleh waktu. Takkan habis dimakan usia. Dan cinta mereka tak pernah kenal usia. Mulai dari anak-anak hingga kakek nenek pun banyak yang menjadi anggota Ultras. Toleransi mereka terhadap sesama suporter juga tak perlu diragukan. Jumat malam lalu sempat bertemu dengan salah seorang anggota Ultras sepulang dari menonton pertandingan Madura United dengan Persegres GU, teman saya menyapanya dan bertanya kenapa dia naik motor sendirian. Kemudian lelaki ini menjawab, “Iya, soalnya tadi ada cewek naik motor sendirian. Kasihan. Jadi motornya saya bawa, dia biar naik bis aja.”
Ultras mencintai tim dengan cara-caranya sendiri. Menjadi diri sendiri, jati diri Ultras itu sendiri. Jika cinta diukur dari pengorbanan, kehadiran, kesetiaan, kedewasaan, atau bahkan hadiah yang mampu diberikan, Ultras sudah cukup memenuhi segala syarat itu. Sudah cukup telak. Usianya pun tahun ini genap 17 tahun. Mereka tak perlu membuat Surat Ijin Mencintai (SIM) tim. Tujuh belas tahun menjadi usia yang matang bagi kedewasaan manusia, namun Ultras sudah cukup matang seiring perkembangan usianya. Menjadi percontohan suporter yang selalu cinta damai. Lalu, Nikmat-Nya mana lagi yang mau kau dustakan ketika dicintai oleh Ultras?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar