Pendahuluan
Sepakbola
merupakan salah satu olahraga paling favorit bagi masyarakat. Di era
globalisasi seperti saat ini, kultur sepakbola merujuk pada glokalisasi jika
melihat dari perkembangan ekonomi permainan yang dimainkan oleh 11 orang ini
(Giulianotti & Robertson, 2004). Banyak klub sepakbola di dunia yang
berbondong-bondong merangkul sponsor untuk membantu mereka membiayai operasional
klub dan secara tidak langsung membuat pemain mereka laku di dunia industri. Pemain-pemain
bintang dari klub tersebut diajukan sebagai ikon sponsor klub yang sekaligus
mempromosikan produk-produk dari sponsor. Klub-klub seperti Juventus (Italia),
Manchester United (Inggris), Real Madrid (Spanyol), dan Bayern Muenchen
(Jerman) bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama. Nike, Coca cola,
Adidas, atau Ford menjadi perusahaan yang banyak bekerja sama dengan klub-klub
sepakbola di Eropa (Giulianotti & Robertson, 2004).
Pengajuan
kerja sama dengan sponsor bukan hanya melihat dari kesuksesan para klub
tersebut dalam mengarungi kompetisi di negaranya masing-masing, melainkan juga
melihat potensi penjualan merchandise
dan banyaknya pendukung fanatik atau suporter mereka (Giulianotti &
Robertson, 2004). Branding pada
klub-klub tersebut merupakan salah satu upaya glokalisasi untuk mempersiapkan
peningkatan permintaan masyarakat atas produk yang dipromosikan oleh ikon sponsor.
Bukan hanya terjadi di Eropa, negara-negara di timur seperti Asia juga mulai
melakukan hal yang sama. Globalisasi ekonomi pada dunia sepakbola mampu
mengubah persepsi manajemen klub untuk lebih mandiri dan mempersiapkan klub
mereka lebih matang secara finansial. Program PBB dalam menunjang globalisasi
dunia diwujudkan dalam MDGs (Millenium Development Goals), olahraga diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak yang salah satunya berfokus pada
pembangunan ekonomi negara (Levermore & Beacom, 2009).
Sayangnya
kondisi tersebut berlainan dengan yang terjadi di negara-negara berkembang di
timur seperti di Asia maupun Afrika. Bagi negara-negara di Afrika, federasi
sepakbola Afrika merupakan satu-satunya penyelenggara event sepakbola sekaligus
penarik sponsor bagi tim nasional maupun klub. Pemerintah dan federasi 80%
menjadi sponsor yang sekaligus menyediakan subsidi bagi tim-tim yang akan
berlaga (Andreff dkk, 2006).
Di
negara-negara Asia sendiri, globalisasi sepakbola merambah pada sektor ekonomi
ketika diadakannya event Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang pada tahun
2002. Sebagai olahraga favorit di dunia, sepakbola membantu kedua negara
tersebut dari segi ekonomi dengan banyaknya suporter, media, investasi,
sponsor, dan politik (Manzenreiter & Horne, 2004).
Melihat
potensi sepakbola Indonesia yang dapat digunakan sebagai lahan perbaikan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat menjadi salah satu alasan mengapa
sepakbola dapat majukan sebagai industri. Seperti diketahui bahwa sepakbola di
negara-negara Eropa, sepakbola bukan hanya sebagai hobi atau profesi. Klub-klub
melakukan modernitas pada sepakbola dan menjadikannya sebagai industri. Sebagai
contoh adalah klub besar Liga Spanyol seperti Real Madrid. Real Madrid
merupakan salah satu klub yang berhasil melakukan modernisasi dengan jalan
pembiayaan klub melalui fans (Musawa, 2012). Sebagai klub profesional, Real
Madrid juga melakukan transparansi pengelolaan klub dengan sangat baik
(Realmadrid.com, 2015).
Menurut
salah seorang pengamat sepakbola, Anton Sanjoyo mengatakan bahwa
industrialisasi sepakbola Indonesia melibatkan kalangan industri, bisnis, dan
bisnis (Kemenpora.go.id, 2016). Hal-hal semacam ini dilakukan untuk
memodernisasi sepakbola Indonesia agar lebih menguntungkan, bukan hanya dari segi
ekonomi, melainkan juga untuk industri bagi pelaku olahraga dan masyarakat. Menjadikan
sepakbola sebagai industri bukanlah langkah yang mudah. Banyak hal yang harus
dibenahi, terutama dari segi klub dan suporter yang harus memahami bagaimana
menerima perubahan menuju industrialisasi sepakbola yang dapat dicontohkan
dengan pengelolaan basis suporter (Nash, 2000).
Budaya
Sepakbola dan Globalisasi
Sepakbola
kini bukan hanya sekedar olahraga atau profesi, melainkan sudah menjadi
industri yang juga menopang pertumbuhan ekonomi negara. Globalisasi ditandai
dengan glokalisasi, yakni ketika budaya lokal beradaptasi dan mendefinisikan
budaya global untuk memenuhi kebutuhan, kepercayaan, dan adat mereka
(Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam sepakbola, globalisasi menyentuh
berbagai macam sektor. Bukan hanya dari segi budaya sepakbola itu sendiri, tapi
juga social, ekonomi, dan politik (Giulianotti & Robertson, 2004).
Robertson (1992 & 1995) menjelaskan bagaimana globalisasi menyentuh
sektor-sektor tersebut menjadi 3 (Giulianotti & Robertson, 2004). Pertama
ialah mengenai elemen budaya pada globalisasi sepakbola, fokus pada
interdependensi lokal/tertentu dan global/universal, dan bagaimana hal-hal
tersebut terefleksikan pada proses glokalisasi. Kedua, klub besar di dunia
menjadi perusahaan transnasional yang berfungsi untuk mendorong globalisasi.
Ketiga, sebagai pengecualian dalam globalisasi sepakbola ialah dengan
mempertimbangkan isu-isu sosial yang kemudian hal ini masih dapat ditentang
dengan melakukan reformasi demokrasi pada pemerintah.
Globalisasi
sepakbola membuat perubahan tersendiri bagi identitas dan proses sosial menjadi
universal (Giulianotti & Robertson, 2004). Dalam konteks kompetisi atau
turnamen internasional, pemain terekspektasi dalam tim nasional masing-masing
negara (Giulianotti & Robertson, 2004). Pada event tersebut juga didapatkan
bahwa banyaknya suporter yang datang dari berbagai negara akan menggunakan
kostum, pakaian, musik, lagu, dan pola perilaku yang berbeda-beda. Mereka membawa
identitas masing-masing negara, hal inilah yang membuat relativisasi budaya
global ke arah glokal (Giulianotti & Robertson, 2004).
Robertson
(1995) menegaskan bahwa istilah glokalisasi membantu menjelaskan bagaimana
hubungan antara lokal dan global berbeda sesuai dengan kebudayaan masing-masing
(Giulianotti & Robertson, 2004). Budaya sepakbola di masing-masing negara
memberikan kekhasan tersendiri dalam globalisasi sepakbola, hal ini termasuk
dengan gaya bermain dari masing-masing tim atau klub di negara tersebut. Dalam
perkembangan glokalisasi di sektor ekonomi dan bisnis, budaya menimbulkan
persaingan mengenai pendapatan finansial maupun sponsor. Jika di Inggris
kebanyakan klub kemudian menjadi perusahaan mandiri dalam bentuk perseroan
terbatas, klub Italia kebanyakan mendapatkan subsidi dari pemerintah terlebih
dahulu hingga mereka mampu menjadi kaya secara industri lokal (Giulianotti
& Robertson, 2004).
Globalisasi
dan Perusahaan Transnasional
Glokalisasi
memiliki efek pada klub-klub sepakbola yang kemudian berubah menjadi perusahaan
transnasional, biasanya mereka juga membawahi perusahaan yang mengurus tentang merchandise klub, media seperti televise
atau surat kabar, atau melalui sister
companies (Giulianotti & Robertson, 2004). Klub sepakbola yang sudah
memiliki nama besar seperti Manchester United atau Real Madrid dapat bekerja
sama dengan negara-negara berkembang di Asia maupun Afrika dalam hal memasukkan
pemain mereka pada klub. Hal ini digunakan untuk menunjang penjualan merchandise di negara-negara timur
(Giulianotti & Robertson, 2004).
Praktek
perusahaan transnasional di Eropa membantu perkembangan ekonomi global terutama
di negara-negara timur, seperti di Asia dan Afrika. Sebagai contoh
negara-negara berkembang di Afrika memiliki tingkat partisipasi yang rendah
pada event sepakbola internasional, hal ini disebabkan karena minimnya dana
untuk mendukung keikutsertaan mereka dan kurangnya fasilitas yang ada di negara
masing-masing (Andreff dkk, 2006). Menghadapi era globalisasi sepakbola,
negara-negara berkembang belum mendapatkan efek yang berarti. Meskipun banyak
pemain profesional luar negeri yang berasal dari Eropa maupun Amerika Latin
yang didatangkan untuk membantu memproses globalisasi sepakbola Afrika, namun
ternyata masih banyak masalah lain yang belum dapat tersentuh (Andreff dkk,
2006).
Maroko,
Kamerun, dan Nigeria menjadi negara yang beberapa kali mengirimkan pemainnya
untuk berkompetisi di luar Afrika pada dasarnya memiliki banyak kempetensi yang
tidak jauh berbeda dengan pemain Eropa (Andreff dkk, 2006). Hal ini agak
sedikit berbeda dengan negara-negara di Asia yang juga memiliki banyak negara
berkembang. Pergerakan globalisasi memberikan dampak besar bagi negara
berkembang di Asia.
Piala
Dunia 2002 yang diadakan di Jepang dan Korea Selatan membuka globalisasi
sepakbola bagi negara-negara di Asia. Banyak event yang kemudian diadakan di
Asia Timur dan mampu meningkatkan ekonomi daerah (Manzenreiter & Horne,
2004). Konsep globalisasi memberikan gambaran mengenai pengembangan sepakbola
menjadi industri yang membawa manfaat besar bagi ekonomi negara. Event
sepakbola internasional digunakan Korea Selatan untuk mempromosikan budaya
negeri hingga aset yang dapat dijadikan investasi oleh pengusaha-pengusaha di
negara lain (Manzenreiter & Horne, 2004).
Globalisasi Sepakbola, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Sepakbola
sebagai olahraga favorit di dunia memberikan banyak perubahan pada manusia dan
negara-negara di dunia. Segala sektor tersentuh ketika globalisasi sepakbola
mulai berjalan. Meski banyak negara yang kurang mendapat manfaat dari
globalisasi ini, namun setidaknya globalisasi sepakbola terutama di
negara-negara timur telah memberikan dampak positif.
Banyaknya
klub sepakbola di negara-negara timur membuat investasi di negara-negara
tersebut meningkat yang diikuti pula dengan meningkatnya ekonomi (Levermore
& Beacom, 2009). Globalisasi sepakbola membawa dampak pada sistem demokrasi
suatu negara, perkembangan kemanusiaan, serta kewarganegaraan menjadi fokus
utama komunitas sepakbola (Giulianotti & Robertson, 2004). FIFA sebagai
federasi induk sepakbola dunia memberikan kebebasan pada negara dan klub
sepakbola untuk mengelola tim mereka sesuai dengan aturan yang berlaku, hal ini
bukan hanya fokus pada industrialisasi sepakbola yang kemudian mewajibkan klub
mandiri menjadi perusahaan transnasional saja. Segala macam upaya dilakukan
untuk memperbaiki sistem sepakbola dunia, karena sepakbola merupakan olahraga
yang mengumpulkan banyak orang.
Seperti
dalam program MDGs yang dirintis oleh PBB, bahwa olahraga menjadi salah satu
fokus PBB untuk memperbaiki kemanusiaan, kesehatan, bahkan sistem demokrasi di
berbagai belahan dunia (Levermore & Beacom, 2009). Peningkatan kemanusiaan,
kesehatan, kewarganegaraan, dan demokrasi mendorong peningkatan kesejahteraan
manusia di negara berkembang seiring dengan globalisasi sepakbola. Sector
ekonomi dan bisnis terdorong karena klub-klub sepakbola di negara timur mulai
mengikuti industrialisasi sepakbola di Eropa. Mulai dari adanya perusahaan
asing yang menjadi sponsor klub loka, seperti yang terjadi pada Piala Dunia
2002 hingga akhirnya membangun pabrik di negara tersebut, seperti di Jepang.
Menurut
Heinemann
(1993) dan Frey (1988), revolusi
pembangunan suatu negara dapat terjadi melalui olahraga modern di negara
tersebut (Levermore & Beacom, 2009). FIFA sebagai induk sepakbola dunia
selalu memberikan pengembangan terhadap metode sepakbola yang baru dan layak
untuk digunakan di seluruh bagian dunia. Mereka juga membuat aturan tentang
klausul kontrak yang layak bagi pemain (Giulianotti & Robertson, 2004).
Selain itu, FIFA juga memberikan aturan-aturan tertentu yang mengikat klub dan
sponsor atau investor klub agar masing-masing dari mereka sama-sama memiliki keuntungan
(Giulianotti & Robertson, 2004). Hal ini menjadi fokus tersendiri ketika
negara-negara berkembang seperti di Asia dan Afrika memiliki permasalahan
seperti kesehatan dan kemanusiaan, sehingga diharapkan dapat terbantu dengan
adanya globalisasi sepakbola bukan hanya dari sektor ekonomi saja.
Referensi
Andreff, W. Szymanski, S., Elgar, E. (2006). Sport in developing countries: handbook on
the economics of sport. Cheltenham 2006, pp. 308-315.
Cockayne, D. C., Wright, L. T. (2014). Liberating
the modern chinese football fan: a theoretical perspective. In: Marking Asia
Group Scholar Global Business, Marketing and Tourism Conference, November 2014,
Indonesia.
Landasan negara untuk ikut mengembangkan olahraga
memiliki peran yang Besar. (2016, 05 Februari). Kemenpora.go.id [on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari
http://www.kemenpora.go.id/index/preview/berita/10367.
Levermore, R., Beacom, A. (2009). Sport and
international development. Palgrave MacMilan.
Manzenreiter, W., Horne, J. (2004). Football goes east business, culture
and the people’s game in china, japan and south korea. New York: Routledge.
Musawa, A. R. (2012, 21 Juni). Pembiayaan klub
profesional berbasis fans. Kompasiana
[on-line]. Diakses pada 27 April 2016 dari
http://www.kompasiana.com/man.musawa/pembiayaan-klub-profesional-berbasis-fans_551163c7a33311c147ba7d54.
Nash, R. (2000). Contestation in modern english professional football: the independent
supporters association movement. International
Review for the Sociology of Sport, December 2000 35: 465-486.
Real madrid memimpin
indeks transparansi klub-klub sepakbola. (2015, 14 Juli). Realmadrid.com [on-line]. Diakses pada 26 April 2016 dari http://www.realmadrid.com/id/berita/2015/07/real-madrid-memimpin-indeks-transparansi-klub-klub-sepakbola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar